PEMIKIRAN

Saturday, 23 February 2013


PARADIGMA TASAWUF DAN MASA DEPAN ISLAM
Prof. Dr. Syafiq A. Mughni
Persoalan besar yang muncul di tengah-tengah umat manusia sekarang ini adalah krisis spiritualitas. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme, empirisisme, dan positivisme ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi mentalitas jaman dan karena itu spiritualisme menjadi suatu anatema bagi kehidupan modern. Seyyed Hosein Nasr menyayangkan lahirnya keadaan ini sebagai the plight of modern men, nestapa orang-orang modern (Nasr, 1987). Keadaan ini merupakan kelanjutan dari apa yang telah berkembang di Eropah pada akhir abad pertengahan sebagai reaksi terhadap jaman sebelumnya di mana doktrin agama (Nasrani) yang dirumuskan oleh gereja mendominasi semua aspek kehidupan, sehingga mengakibatkan bangsa Barat tetap berada pada jaman kegelapan. Lahirnya jaman modern di Eropah serta merta masuk ke dunia Islam, dan begitu kuatnya pengaruh itu sehingga krisis yang sama juga hampir dialami oleh beberapa bagian dunia Islam (Cox: 181-190) yang memilih strategi pembangunan sekular dan karena itu menjauhkan semangat agama dari proses modernisasi.
Sekalipun krisis spiritualitas menjadi ciri peradaban modern, dan modernitas itu telah memasuki dunia Islam, masyarakat Islam tetap menyimpan potensi untuk menghindari krisis itu. Sebabnya ialah sebagian besar dunia Islam belum berada pada tahap perkembangan kemajuan negara-negara Barat. Keadaan ini sangat menguntungkan karena memiliki kesempatan untuk belajar dari pengalaman mereka dan membangun strategi pembangunan yang mampu mengambil aspek-aspek positif dari peradaban Barat dan sekaligus menghilangkan aspek-aspek negatifnya. Hal ini bisa dilakukan dengan mempertahankan dasar-dasar spiritualisme Islam agar tetap terjaga kehidupan yang seimbang (ummatan wasathan).
Dalam sejarah Islam terdapat khazanah spiritualisme yang sangat berharga, yakni sufisme. Ia berkembang mengikuti dialektika jaman sejak Nabi Muhammad saw sampai sekarang baik dalam bentuk yang sederhana dan ortodoks, maupun yang elaborate dan heterodoks. Perkembangan sufisme mencerminkan ragamnya pemahaman terhadap konsep akhlaq dalam kehidupan sosial dan ihsan dalam kehidupan spiritual.
Jika dilihat dalam konteks sejarah, ragamnya pemahaman itu muncul dalam beberapa fase perkembangan. Pada awal Islam, terutama periode Makkah, begitu jelas al-Qur'an menekankan pentingnya spirirualisme itu. Tetapi hal ini paralel dengan orientasi kesadaran profetik, di mana pengalaman spiritual tidak hanya ditujukan bagi spiritualisme itu sendiri, tetapi bermakna bagi pembangunan etika yang menggerakkan sejarah kehidupan umat Islam. Dalam tahap selanjutnya, spiritualitas itu muncul dalam bentuk kehidupan zuhd ketika umat Islam menikmati kemewahan dengan terciptanya imperium yang luas.
Kehidupan zuhd menjadi reaksi terhadap kehidupan yang sekular dan sikap penguasa dinasti Umayyah di istana mereka, yang kebanyakan bersikap kontras terhadap kesalehan dan kesederhanaan Khalifah yang Empat. Selama dua abad sejak kelahiran Islam, tasawuf merupakan fenomena individual yang spontan. Ia menjadi ciri dari mereka yang dikenal dengan sebutan zuhhad (orang-orang zuhud), nussak (ahli ibadah), qurra' (pembaca al-Qur'an), qushshash (tukang kisah) dan bukka' (penangis). Mereka menjauhkan diri dari hingar bingar kemewahan duniawi dan ketegangan politik di masanya. Setelah itu, ketika cara hidup sufi dikenal sebagai cara tertentu, istilah sufi secara pelan-pelan mengantikan nama zuhhad, nussak dan lain-lain. Muncullah beberapa nama besar sufi, seperti Ibrahim ibn Adham (w. 174/790), Rabi'ah al-'Adawiyyah (w. 185/801), dan lain-lain. (Rahman: 132). Kemudian, muncul organisasi sufi yang ditunjukkan kepada pertemuan yang informal dan longgar untuk diskusi agama, dan latihan spiritual, yang disebut halqah. Pada masa ini mucul para sufi, seperti Sahl al-Tustari (w. 283/896) dan al-Junayd al-Baghdadi(w. 297./910). Pembacaan dzikir bisa dilaksanakan di mana saja, termasuk masjid. Keadaan ini berlangsung sampai dengan abad ke-5/ke-11.
Sejak abad ke-6/ke-12, praktek yang simpel ini berkembang menjadi konsep spiritual yang elaborate dan terorganisasi dalam bentuk tarekat (thariqah). Organisasi ini memiliki hirarki kepemimpinan, inisiasi atau baiat, formula dzikir dan silsilah yang diyakini sampai kepada shahabat Nabi. Jadi, tasawuf yang semula menjadi amalan individual atau pemikiran spekulatif sekarang menjadi terstruktur dan kemudian berkembang secara massal.
Pasca abad ke-6/ke-12 dunia Islam didominasi oleh tarekat yang memainkan peran besar dalam kehidupan sosial dan politik (Hodgson: 204). Dunia Islam pasca abad ke-6/ke-12 ditandai dengan lahirnya tarekat-tarekat yang kemudian menjadi jaringan internasional yang pengikutnya bebas lalu-lalang melintasi batas-batas kekuasaan dinasti. Pada akhir abad itu muncul tarekat Qadiriyyah yang dinisbahkan kepada Abd al-Qadir al-Jilani (w. 561/1166). Ia menjadi salah satu tarekat yang paling kuat dan dikenal dengan kesalehan dan humanitarianismenya. Berdiri di Baghdad, ia berkembang ke barat di Afrika Utara dan kemudian Afrika Hitam, ke timur sejauh Indochina dan ke utara di Turki. Sedikit lebih kecil dari tarekat itu adalah Suhrawardiyyah, yang berkembang dari ajaran tasawuf
'Umar al-Suhrawardi, yang meninggal dekat Zanjan, Persia, pada tahun 632/1236. Tarekat ini ditemukan di Afghanistan dan anak benua India.

Sekitar akhir abad ke-8/ke-14 tarekat ini memberikan inspirasi terhadap lahirnya tarekat Khalwathiyyah, yang didirikan di Persia oleh 'Umar al-Khalwathi (w. 800/1398). Ia berkembang di Turki dan selama abad ke-12/ke-18 masuk ke Mesir dan Timur Tengah. Sejaman dengan 'Abd al-Qadir al-Jilani, di kota Bashrah, Iraq, Ahmad al-Rifa'i (w. 578/1182), mendirikan tarekat Rifa'iyyah. Ia berkembang ke Mesir, Turki dan beberapa bagian Asia Tenggara.
Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 656/1258) juga melahirkan tarekat yang berpengaruh di Sudan Timur. Tarekat ini pada abad ke-9/ke-15 direformasi dalam bentuk tarekat Jazuliyyah di Marokko. Ajaran-ajaran spiritual Ahmad al-Tijani (w. 1230/1815) di Fez juga membuahkan tarekat Tijaniyyah yang berkembang di Aljazair, Marokko dan Afrika Barat.
Ahmad Yasawi (w. 562/1167) mendirikan Yasawiyyah di Turki. Tarekat ini berpengaruh di Turkestan Barat, dan dari tarekat induk itu lahir tarekat Bektasyiyyah, yang  ikembangkan oleh Hajji Bektasy. Ia berkembang di Anatolia. Tarekat lain yang berkembang dari Asia Tengah ke Turki dan wilayah Islam timur adalah Naqsyabandiyyah yang didirkan pada abad ke-8/ke-14 di Bukhara oleh Baha' al-Din Naqsyaband (w. 791/1389). Naqsyabandiyyah berkembang di India, Cina dan Kepulauan Nusantara. Di India ia diperkenalkan oleh Baqi Billah pada abd ke-10/ke-16 dan dikembangkan oleh salah seorang muridnya Ahmad Sirhindi pada abd ke-11/ke-17 yang dikenal dengan tarekat mujaddidiyyah karena pikiran-pikirannya yang reformatif terhadap tarekat itu. Oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (w. 1878), yang tinggal dan wafat di kota suci Makkah, ajaran Naqsyabandiyyah digabung dengan Qadiriyyah dan dibawa oleh murid-muridnya ke Indonesia (van Bruinessen: 89-92).

Tarekat yang sangat berpengaruh di kalangan bangsa Turki adalah Mawlawiyyah yang diajarkan oleh Jalal al-Din Rumi (w. 672/1273). Karena tekanan Kemal Ataturk ia kemudian terbatas di Timur Tengah, terutama Aleppo. Di anak benua India, di samping
Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah, tarekat yang utama adalah Chistiyyah, didirikan oleh Mu'in al-Din Chisti, yang meninggal di Ajmer pada tahun 633/1236 (Rahman: 158-165; Schimmel: 244-258)
Ada dua sebab yang menjadikan tarekat begitu menarik masyarakat Islam sejak abad ke-6/12. Pertama ialah factor al-Ghazali (w. 505/1111). Dalam suasana pertentangan klaim jalan untuk mencapai kebenaran, ia telah mempelajari dengan cermat berbagai aliran utama Islam, dan pada akhirnya setelah mengalami krisis intelektual, ia menemukan tasawuf sebagai jalan yang paling valid untuk melihat kebenaran. Begitu kuatnya pengaruh pikiran al-Ghazali yang bukan saja menata kembali teologi Islam dan membersihkan tasawuf dari elemen-elemen tidak Islami, al-Ghazali berhasil menjadikan tasawuf sebagai bagian integral dari ajaran Islam. Melalui al-Ghazali tasawuf menerima pengakuan ijma' umat Islam (Rahman: 140; Hodgson: 203). Kedua ialah jatuhnya imperium Islam dan dengan demikian muncul perasaan tidak aman di kalangan masyarakat Islam. Pada tahun 1258 Baghdad dihancurkan oleh bangsa Mongol yang kemudian menguasai wilayah-wilayah Persia dan Asia Tengah. Wilayah-wilayah itu mengalami kehancuran baik oleh Mongol maupun penguasa-penguasa berikutnya. Dalam keadaan seperti itu, masyarakat mencari perlindungan yang akhirnya menemukan tarekat sebagai institusi yang mengisi kevakuman pemerintah yang stabil dan menjamin tatanan sosial. (Hodgson: 202). Ketiga ialah keyakinan bahwa tasawuf mampu mengantarkan manusia berkomunikasi langsung dengan Tuhan dan jaminan itu diberikan oleh tarekat.
Ajaran tarekat tentang berkah, syafaat, karamah dan ziarah kubur berfungsi mempertautkan batin manusia dengan Tuhan melalui tarekat. Keempat ialah bahwa tasawuf yang diajarkan oleh tarekat bersikap sangat toleran terhadap keyakinan dan praktek keagamaan lokal. Sikap ini sangat menarik mereka yang baru saja masuk Islam dan setengah Islam. Dengan luasnya pengaruh tarekat di dunia Islam pada abad-abad pertengahan, maka ia mengambil alih peran para penguasa dan pasukan Islam dalam membuka wilayah baru bagi Islamisasi. Gerakan-gerakan tarekat melakukan pengislaman di kalangan penduduk Afrika Hitam, anak benua India dan Asia Tenggara. Faktor Islamisasi itu bukan saja terletak pada toleransi dan akomodasi kepercayaan dan praktek pra-Islam, tetapi juga pada kemampuan para tokoh sufi untuk menampilkan diri sebagai orang suci yang memiliki kesaktian supernatural. Kisah Farid al-Din Ganj-i Syakr (w. 1245 M) tampaknya menggambarkan pola Islamisasi melalui tasawuf. Ia adalah salah seorang syaikh dari tarekat Chistiyyah. Baba Farid, begitu ia dipanggil, tinggal di suatu
tempat yang sekarang disebut Pak-pattan, sebuah desa di dataran India utara. Suatu tempat yang berdebu, rumah-rumahnya terbuat dari tanah liat, dihuni oleh orang-orang yang terkenal buta huruf, takhayul dan suka berkelahi. Baba Farid datang ke desa itu untuk menjauhkan diri dari kemewahan dan godaan istana di Delhi. Selama bertahun-tahun ia melakukan zuhud, menolak kesenangan duniawi, dan menghabiskan waktunya untuk sembahyang. Di Pak-pattan ia berhenti di pinggir desa di bawah pohon, membuka tikar shalatnya, dan tinggal beberapa lama sendirian. Setelah beberapa saat ia mulai mengenal pengunjungnya. Orang-orang mengenalnya sebagai orang suci. Orang miskin datang untuk minta kesembuhan, jimat dan nasehat tentang persoalan keluarga . Orang-orang juga memintanya untuk menghubungkan dengan tuan tanah dan penarik pajak. Pejabat, pemilik tanah, dan orang kaya datang minta nasehat. Kepala suku datang minta bantuan dalam menyelesaikan pertentangan di kalangan mereka. Pedagang mencari perlindungan agar melewati desa itu dengan aman. Ketika reputasinya berkembang, Baba Farid mendapatkan dana yang cukup untuk membangun ribath (semacam padepokan). Murid-murid berdatangan untuk tinggal bersamanya. Di mata pengikutnya, kedisiplinan, kerajinan shalat dan keberhasilannya sebagai dukun adalah karamah yang bersumber dari berkah Tuhan. Cerita terus bergulir, dan ia kemudian dikeramatkan. Atas namanya orang-orang masuk Islam (Mughni, 1992: 90; Lapidus: 444-445).
Di samping sisi peran positif itu, tarekat ternyata memunculkan sisi negatif berupa pesimisme, kultus dan sinkretisme. Karena itu, pada abad-abad modern muncul gerakan yang melakukan reformasi terhadap berbagai tarekat. Ahmad Sihrindi merupakan contoh yang melakukan kritik terhadap berbagai penyimpangan baik di dalam ajaran tasawuf maupun akibat yang ditimbulkannya. Sungguhpun kritik semacam ini telah pernah dilakukan oleh Ibn Taymiyyah pada abad ke-7/ke-13, tetapi gerakan reformasi ini memiliki pengaruh yang lebih menentukan pada masa pasca Ahmad Sirhindi. Setelah itu, lahir gerakan yang lebih radikal menolak sama sekali tasawuf dan tarekat baik karena penyimpangannya dari ajaran Islam yang autentik mapun akibatnya yang menjadikan umat mengalami kemunduran. Gerakan anti tarekat ini, seperti yang dipelopori oleh Muhammad 'Abduh dan Muhammad Iqbal, sangat berpengaruh sejak awal abad ke-20 dan tampaknya melapangkan jalan bagi proses modernisasi masyarakat Islam (Hourani: 142; Nasution: 191). Apa yang diterangkan di atas menggambarkan bahwa di satu pihak perkembangan tasawuf itu merupakan reaksi terhadap keadaan sosial, politik dan agama kontemporer. Tasawuf yang bersifat individual dan longgar adalah reaksi terhadap kehidupan yang sekular dan hedonis. Tasawuf seperti itu kemudian berkembang menjadi tarekat sebagai reaksi terhadap kevakuman kekuasaan dan kekacauan politik. Di lain pihak, perkembangan tasawuf merupakan hasil proses dialektika masa sebelumnya. Pada jaman Islam klasik, tasawuf merupakan kepentingan individu. Setelah itu, pada jaman pertengahan, ia berubah menjadi tarekat dan bersifat sosial. Pada jaman modern, muncul arus yang menentang tarekat dan bahkan tasawuf. Pada masa pascamodern, akankah tasawuf dan tarekat itu muncul lagi menjadi semangat jaman?
Berbagai kritik telah dilakukan oleh sebagian kalangan terhadap modernisme yang mempunyai pengaruh begitu kuat dalam peradaban modern. Kritik itu diwakili oleh para penganjur dan penganut post-modernisme, termasuk beberapa sarjana yang menaruh perhatian terhadap Islam. Di dunia Islam kaum modernis mewakili suatu kelompok intelektual Muslim yang secara baik memanfaatkan budaya Barat untuk kepentingan kemajuan Islam.
Namun, Fazlur Rahman melihat mereka sebagai kelompok yang tercabut dari akar dan tradisi Islam yang telah berkembang selama berabad-abad. Akar dan tradisi itu diabaikan begitu saja sehingga pembaharuan yang mereka lakukan kehilangan originalitasnya. Kritik berikutnya diberikan oleh neo-tradisionalisme yang diajukan oleh Seyyed Hossein Nasr. Ia melihat terjadinya malapetaka dalam manusia modern akibat hilangnya spiritualitas yang sesungguhnya inherent dalam tradisi Islam. Ia menyatakan bahwa pada abad yang  lalu, gerakan kaum modernis dan kaum reformis di dunia Islam bekerjasama -- walaupun keduanya jelas bertentangan dalam masalah-masalah hukum dan teologi -- untuk menghancurkan seni dan kebudayaan Islam serta menciptakan kegersangan dalam jiwa seorang Muslim sehingga selama beberapa dekade terjadilah penyusupan manifestasi dunia industrial modern yang begitu buruk akibat pengabaian terhadap signifikansi spiritual Islam oleh mereka yang berusaha memodernkan dunia Islam menurut model Barat. Namun, konsepsi Islam ini pasti menciptakan kevakuman dalam jiwa kaum Muslimin dan sangat menghancurkan kekuatan yang dapat menentang pengaruh kebudayaan asing yang melemahkan (Nasr, 1993: 216-217). Keluhan Rahman terhadap rendahnya originalitas pemikir-pemikir Muslim dan keluhan Nasr terhadap kevakuman spiritualitas menunjukkan pentingnya apresiasi terhadap tradisi Islam. Tentu
saja tradisi itu tidak mungkin bertahan dalam bentuk dan isinya yang asli tetapi harus ditempatkan dalam posisi dialog dengan perkembangan jaman. Dalam rangka dialog itu kita harus melihat kecenderungan masyarakat di masa depan dan apa pengaruhnya terhadap kehidupan agama. Setelah itu, kita membangun strategi kebuadayaan di masa depan. Pada masa yang akan datang tampaknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta industrialisasi akan berlangsung terus irreversible dan sangat menentukan peradaban umat manusia. Namun demikian, masalah-masalah moral dan etika akan ikut mempengaruhi pilihan strategi dalam mengembangkan peradaban di masa depan. Hal ini telah terlihat dalam gejala awal bagi meningkatnya tuntutan hak-hak asasi manusia, ajakan untuk menjadikan agama sebagai motivasi pembangunan, dan kuatnya semangat agama dalam kehidupan privat maupun publik. Di samping itu, mobilitas intelektual yang memiliki komitmen agama benar-benar telah terjadi, dan ini akan sangat mempengaruhi corak peradaban di masa yang akan datang.
Dalam kondisi kebudayaan seperti itu, ada beberapa kemungkin yang akan terjadi pada tingkat corak keberagamaan umat Islam. Kemungkinan itu akan sangat ditentukan oleh berbagai faktor yang saling menarik, misalnya kekuatan internal atau faktor dinamik ajaran Islam dengan kekuatan eksternal. Mana di antara faktor-faktor itu yang paling dominan dalam menentukan perjalanan Islam sangat sulit diramalkan. Karena itulah sering kali perhitungan futurolog ternyata meleset dari kenyataan. Dengan demikian, kita
hanya bisa memperkirakan beberapa kemungkinan corak agama yang akan menjadi mentalite masyarakat di masa mendatang. Pertama ialah kecenderungan bahwa Islam akan semakin kuat menjadi established religion, yaitu agama yang sangat menekankan aspek-aspek normatif. Di sini ulama' tetap memegang peran penting dalam rangka menjaga kemurnian agama, dan karena itu mereka memiliki otoritas untuk berbicara atas nama Islam yang sesuai dengan ajaran al-Qur'an dan Sunnah.
Kedua ialah kecenderungan bahwa Islam akan menjadi ethical religion. Dalam kecenderungan ini, Islam lebih berfungsi sebagai ajaran etika akibat proses modernisasi dan sekularisasi yang secara perlahan-lahan hanya memberikan peluang yang sangat kecil bagi penghayatan teologis dan normatif. Keadaan ini telah dialami oleh agama Protestan di negara-negara Barat. Advokasi terhadap pemahaman Islam kontekstual dan bukan tekstual sesungguhnya ikut melicinkan jalan bagi lahirnya Islam sebagai agama etika.
Ketiga ialah kecenderungan Islam menjadi spiritual religion. Dalam keadaan ini Islam dihayati dan diamalkan sebagai sesuatu yang spiritual sebagai reaksi terhadap perubahan masyarakat yang sangat cepat akibat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan industrialisasi. Orang tidak akan lagi menghiraukan rigiditas teologis dan ritual lebih daripada kepuasan dan keamananbatiniyah. John Naisbitt telah meramalkan kecenderungan ini akan semakin kuat pada masa yang akan datang (Naisbitt: 275).
Dalam konteks dunia Islam, ketiga corak Islam itu memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan umumnya negara-negara Islam. Bahkan dunia Islambisa melahirkan sintesis yang kreatif dari tiga corak itu. Pemikiran sintesis ini pernah disuarakan oleh Ibn Taymiyyah pada abad ke-13 ketika melihat suatu keadaan di mana sebagian masyarakat Islam melaksanakan agama secara verbal dan formal, sebagian terjerumus ke dalam kultus para wali, dan sebagian lagi terjerumus ke dalam sikap antinomian yang mengabaikan ketentuan syari'ah (Memon, 1976). Ibn Taymiyyah menyatakan penekanan yang sama terhadap semua sisi ajaran Islam.
Sintesis juga bisa dilakukan dengan menekankan satu sisi ketika orang sedang berada pada ujung sisi yang lain. Dalam keadaan seperti ini, tasawuf akan memiliki peran penting dalam mempertahankan keseimbangan budaya agama. Ia akan sangat berguna dalam menjinakkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan industrialisasi. Ia juga menjadi penting dalam mengisi kegersangan rohaniyah dan memberikan makna spiritual bagi keberhasilan duniawi. Lebih dari itu, dalam situasi yang tidak stabil akibat kevakuman institusi politik, tasawuf dalam bentuk tarekat bisa mengambil peran itu. Sebagai tambahan, tasawuf bisa menjadi wacana spiritual untuk menghindari keberagamaan yang formalistic dan simbolik (Arifin: 39-40). Dengan demikian, tasawuf akan menjadi komponen penting yang harus diperhitungkan dalam strategi membangun peradaban di masa depan.
Spiritualisme baik dalam bentuk tasawuf, ihsan maupun akhlaq menjadi kebutuhan sepanjang hidup manusia dalam semua tahap perkembangan masyarakat. Untuk masyarakat yang masih terbelakang, spiritualisme harus berfungsi sebagai pendorong untuk meningkatkan etos kerja dan bukan pelarian dari ketidakberdayaan masyarakat untuk mengatasi tantangan hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat maju-industrial, spiritualisme berfungsi sebagai tali penghubung dengan Tuhan.
Namun demikian, perlu diingat bahwa tasawuf tidak bisa dipisahkan dari kerangka pengamalan agama, dan karena itu harus selalu berorientasi kepada al-Qur'an dan Sunnah. Inilah yang mungkin disebut oleh HAMKA sebagai 'tasawuf modern', yakni tasawuf yang membawa kemajuan, bersemangat tauhid dan jauh dari kemusyrikan, bid'ah dan khurafat. Karena itu, gambaran seorang sufi yang sejati ialah nabi kita Muhammad saw. Seperti telah disebut di muka, spiritualisme pada generasi pertama Islam dikembangkan bukan untuk spiritualisme per se, tetapi berfungsi untuk mendorong gerak sejarah ke depan dan pada saat yang sama membuat hidup menjadi seimbang. Namun demikian, dalam kehidupan riil mungkin saja terjadi bahwa salah satu aspek ajaran Islam ditekankan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada jamannya. Bagi masyarakat terbelakang, Islam harus digambarkan sebagai ajaran yang mendorong kemajuan. Bagi masyarakat maju-industrial, Islam harus ditekankan sebagai ajaran spiritual dan moral. Strategi ini sebenarnya ditujukan untuk menyeimbangkan ayunan pendulum. Ketika pendulum itu bergerak ke ujung kiri, kita harus menariknya ke kanan. Demikian juga, ketika ia bergerak ke ujung kanan, kita harus segera menariknya ke kiri. Dengan cara ini,
maka akan terbangun kehidupan yang seimbang antara lahir dan batin, duniawi dan ukhrawi, serta individu dan masyarakat. Keseimbangan ini harus menjadi ruh bagi peradaban di masa depan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arifin, Syamsul dkk. Spiritualitas Islam dan Peradaban
Masa Depan. Yogyakarta: Sipress, 1996.
Cox, Harvey. Religion in the Secular City. New York: Simon
& Schuster, Inc., 1984.
Hodgson, Marshall. The Venture of Islam, II. Chicago: The
University of Chicago Press, 1974.
Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age
1798-1939. Cambridge: Cambridge University Press, 1983.
Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. Cambridge:
Cambridge University Press, 1988.
Memon, Muhammad 'Umar. Ibn Taimiya's Struggle against
Popular Religion.The Hague, 1976.
Mughni, Syafiq. Dunia Islam Setelah Kehancuran Baghdad
1258. Laporan penelitian, IAIN Sunan Ampel, Fakultas Adab
Surabaya, 1996/1997.
_______________. "Sufisme dan Tarekat: Menatap
Spiritualisme Islam Masa Kini dan Mendatang." Makalah
disampaikan pada Seminar Asesmen terhadap
Perkembangan Intelektual Islam, Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo, 19 Januari 1992.
Naisbitt, John dan Patricia Aburdene. Megatrends 2000: Ten
New Directions for the 1990's. New York: William Morrow
and Company, Inc., 1990.
Nasr, Seyyed Hossein. Menjelajah Dunia Modern. Bandung:
Mizan, 1994.
______________. Islam and the Plight of Modern Men.
Terjemahan Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1987.
_____________. Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung:
Mizan, 1993.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah
Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Rahman, Fazlur. Islam. Chicago: University of Chicago
Press, 1979.
Schimmel, Annemarie. Mystical Dimensions of Islam.
Chapel Hill: The University of Carolina Press, 1983.
Van Bruinessen, Martin. Tarekat Naqsyabandiyah di
Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan, 1994.



PERGOLAKAN FILSAFAT VS ISLAM

Pendahuluan
Judul di atas hendak memberitakan pertentangan yang seru antara Islam sebagai agama yang datang dari Allah dengan filsafat sebagai agama yang datang dari pendewaan akal. Ringkasnya ialah agama akal dengan agama Allah. Pertentangan ini berlangsung sejak jaman manusia merasa tidak terikat lagi dengan agama Allah yang dibawa oleh para Nabi-Nya dan merasa yakin akal dan perasaannya mampu menggantikan kedudukan agama Allah dalam membimbing kehidupan manusia di dunia ini. Kecenderungan demikian ini mulai tumbuh setelah agama Allah yang diajarkan oleh para Nabi itu, sepeninggal mereka, dirasuki oleh berbagai bid’ah dan khurafat (yakni berbagai kepercayaan yang dusta diatasnamakan agama para Nabi itu) sehingga akal yang sehat cenderung menolak agama yang diliputi oleh berbagai bid’ah dan khurafat itu. Demikianlah proses lahirnya generasi yang terjebak dalam kubangan syahwat sebagaimana diberitakan oleh Allah dalam firman-Nya di surat Maryam 59-60, setelah membeberkan Nabi-Nabi besar, kemudian :
“Maka datanglah sepeninggal mereka generasi yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih. Maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” (Maryam : 59-60)
Al Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (213-376 H) rahimahullah dalam kitab beliau Ta’wilu Mukhtalafil Hadits halaman 53 membawakan perkataan Ibnu Rahuyah rahimahullah tentang orang-orang Ashabur Ra’yi (yaitu orang yang cenderung merujuk kepada akal pikiran dan perasaan dalam memahami Islam), beliau menyatakan : “Mereka ini mencampakkan Kitabullah (yakni Al Qur’an) dan sunnah-sunnah (ajaran) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan mereka menancapkan qiyas dalam memahami Islam”. Demikianlah Ibnu Qutaibah menukilkan perkataan salah seorang Imam Ahlul Hadits tentang Ashabur Ra’yi yang kiranya bisa membantu kita memahami betapa bahayanya merujuk kepada akal pikiran dan perasaan dalam memahami agama yang berakibat menyingkirkan agama itu sendiri dan kemudian meletakkan dasar agama baru yaitu qiyas, walaupun nama agama itu masih dengan nama Islam sebagai agama para Nabi Allah. Ini berarti sejarah panjang pergolakan antara superioritas (kesombongan) akal pikiran dan perasaan di satu pihak melawan agama para Nabi Allah di pihak lain. Sejarah inipun masih dilanjutkan sampai hari ini dan terus berkecamuk sampai hari kiamat nanti.

Sejarah Penyimpangan

Untuk kita mengerti apa sebab pergolakan atau pertentangan antara filsafat dengan Islam, kita harus menelusuri sejarah penyimpangan umat manusia dari agama para Nabi Allah. Hal ini amat penting diketahui agar kita dapat mengambil pelajaran untuk terhindar dari berbagai sebab yang menjerumuskan umat manusia kepada berbagai penyimpangan dari agama para Nabi itu. Allah subhanahu wa ta'ala memberitakan sejarah penyimpangan tersebut dalam firman-Nya dalam Al Qur’an surat Al Baqarah 213 :
“Manusia itu dulunya adalah umat yang satu. Setelah timbul perselisihan, maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
Diriwayatkan oleh Imam Ath Thabari dalam tafsir beliau terhadap ayat ini dengan sanadnya, bahwa Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma menerangkan tafsir ayat ini sebagai berikut : “Antara Nabi Nuh dan Adam ada sepuluh generasi, mereka semua berada di atas syariat yang benar. Kemudian mereka pun berselisih, sehingga Allah mengutus para Nabi-Nya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.” (Tafsir Ath Thabari jilid 2 hal. 347)
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menyatakan tentang sanad Tafsir Ibnu Abbas ini lebih shahih sanad dan maknanya, karena dahulu manusia itu di atas agama Nabi Adam, akhirnya setelah itu mereka menyembah berhala sehingga Allah mengutus kepada mereka Nabi Nuh alaihis salam sebagai Rasul pertama yang diutus Allah kepada penduduk bumi.” (Tafsir Ibnu Katsir jilid 1 hal. 250)
Syaikh Al ‘Allamah Al Muhadits Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah manshahihkan sanad riwayat Tafsir Ibnu Abbas tersebut. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dengan takhrij Syaikh Muqbil jilid 1 halaman 461, terbitan Darur Rayah, Riyadl, Arab Saudi, cet. 1 tahun 1414 H/1993)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa anak Adam sepeninggal beliau istiqamah di atas agama tauhid dan tidak mencampurkannya dengan bid’ah dan syirik dalam masa sepuluh generasi yang waktu itu usia mereka masing-masing berkisar sekitar seribu tahun. Masa sepuluh generasi itu berarti beribu-ribu tahun (Lihat Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir juz. 1 hal. 94, Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Libanon, tanpa tahun).
Adapun awal penyimpangan Bani Adam dari tauhid kepada syirik dan dari sunnah kepada bid’ah, sehingga Allah mengutus Nabi Nuh alaihis salam untuk memanggil umat manusia agar kembali kepada tauhid dan melarang mereka dari perbuatan syirik, ialah sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma tentang nama-nama berhala terkenal di kalangan Nabi Nuh yaitu Waddan, Suwa’an, Yaghutsa, Ya’uqa, dan Nasra. Beliau menerangkan : “Nama-nama ini adalah nama dari beberapa orang shalih dari kaum Nabi Nuh, ketika mereka meninggal dunia, setan memunculkan ide di kalangan kaum orang-orang shalih itu agar mereka membuat patung peringatan yang dipancangkan di majelis-majelis mereka tempat dahulunya orang-orang shalih itu duduk dan agar memberi nama patung-patung itu dengan nama-nama mereka. Kaum yang ditinggal mati oleh orang-orang shalih tersebut merealisir ide yang diilhamkan oleh setan itu. Patung-patung tersebut ketika itu belum disembah oleh mereka. Ketika generasi pertama kali yang membikin patung itu meninggal dunia dan ilmu agama telah dilupakan umat, akhirnya patung-patung tersebut disembah.” (HR. Bukhari dalam shahihnya, Fathul Bari’ jilid 8 halaman 667)
Demikianlah perjalanan sejarah penyimpangan umat manusia, berproses dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini adalah proses dominasi akal pikiran dan perasaan manusia dalam memandang nilai-nilai kehidupan mereka dengan sedikit menggeser kedudukan agama Allah yang telah diajarkan oleh para Nabi-Nya dan proses itu akhirnya menjadi upaya menyingkirkan sama sekali agama Allah dari kehidupan manusia dan munculnya agama baru yang bersumber dari akal dan perasaan semata.
Imam Muhammad bin Sirin (salah seorang Imam dari kalangan tabi’ien) menerangkan sebab penyimpangan umat manusia dari agama Allah :
Qiyas itu ialah sial dan pihak peertama yang menggunakan qiyas adalah iblis sehingga dia binasa. Dan sesungguhnya matahari dan bulan itu disembah hanyalah dengan sabab berbagai qiyas.
Demikian Ibnu Sina menyatakan dan diriwayatkan pernyataan ini oleh Imam At Thahawi dengan sanadnya yang dinukil secara lengkap oleh Ibnu Qayim Al Jauziyah dalam I’lamul Muwaqi’in jilid 1 halaman 254.
Pengertian qiyas dalam bahasa Arab ialah “ukuran sesuatu” . Sedangkan menurut pengertian ahli ushul fikih ialah “memahami sesuatu yang riil dengan sesuatu realitas lainnya untuk menetapkan hukum bagi keduanya atau menafikkannya karena adanya segi kesamaan pada keduanya dalam perkara hukum atau sifat.” (Lihat Irsyadul Fuhul, As Syaukani hal. 173, 174, Idaratut Thiba’ah Al Muniriyah, Mesir, tanpa tahun).
Qiyas yang tercela sebagaimana dicela oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Qutaibah yang telah membinasakan iblis dan kemudian orang-orang yang pertama yang menyimpang dari tauhid kepada syirik sehinggga disembahnya patung-patung dan matahari dan bulan, ialah qiyas yang murni produk akal pikiran dan perasaan yang mengabaikan bahkan menolak dalil-dalil Al Qur’an dan Al Hadits. Iblis menggunaklan qiyas dalam menilai kedudukan dirinya yang diciptakan dari api dan Adam yang diciptakan dari tanah liat yang kemudian dia menganggap bahwa api lebih mulia dari tanah liat, sehingga dia dengan qiyas seperti itu mengabaikan bahkan menolak perintah Allah kepadanya untuk bersujud kepada Adam. Dengan itu binasalah Iblis. Demikian pula kaum Nabi Nuh alaihis salam yang mengqiyaskan patung-patung yang mereka buat dengan orang-orang shalih yang telah meninggal. Sehingga mereka menganggap bahwa menghormati patung-patung itu berarti menghormati orang-orang shalih tersebut. Berdoa kepada patung-patung itu dianggap sama dengan meminta doa dari orang-orang shalih tersebut ketika mereka masih hidup agar mereka berdoa kepada Allah memintakan apa yang mereka minta. Sehingga dengan qiyas demikian ini jadilah mereka penyembah patung-patung tersebut.
Demikian pula dalam perkara halal dan haram, metode qiyas bisa menyebabkan orang menghalalkan perkara yang diharamkan Allah dan mengharamkan perkara yang dihalalkan-Nya. Inilah sebabnya Ibnu Qayim Al Jauziyah merinci orang-orang yang menentang wahyu Allah dengan pikiran mereka itu sebagai berikut :
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang wahyu dengan pikirannya ada lima golongan :
1.      Golongan yang menentang wahyu dengan akal mereka dalam menyikapi berita-berita dari langit, dalam perkara ini mereka lebih mendahulukan penilaian akal dan mereka mengatakan kepada orang-orang yang beriman kepada wahyu Allah : ‘Kami mempunyai dalil aqli sedangkan kalian memiliki dalil naqli.’
2.      Golongan yang menentang wahyu dengan pikiran dan qiyas mereka, mereka berkata kepada Ahlil Hadits : ‘Kalian memiliki hadits, sedangakan kami memilikii ra’yu (rasio) dan qiyas.’
3.      Golongan yang menentang wahyu dengan mencari hakekat segala sesuatu menurut pandangan dan perasaan mereka. Mereka menyatakan (kepada Ahlus Sunnah, pent.) : ‘Kalian mempunyai syariat, sedangkan kami memiliki ilmu hakikat.’
4.      Golongan yang menentang wahyu dengan ambisi politik dan kepemimpinan. Mereka menyatakan (kepada Ahlus Sunnah, pent.) : ‘Kalian ahli syariah, sedangakan kami ahli politik.’
5.      golongan yang menentang wahyu dengan penafsiran ala kebatinan. Mereka menyatakan (kepada Ahlus Sunnah, pent.) : ‘Kalian orang-orang yang terpaku dengan perkara dhahir, sedangkan kami adalah orang-orang yang mendalami perkara batin.’
Semua golongan ini tidak mempunyai patokan yang kongkrit dalam pemahamannya masing-masing, bahkan mereka hanya mengikuti hawa nafsu dalam memahami sesuatu.”
Demikian Ibnu Qayim menerangkan dalam kitab beliau As Shawa’iqul Mursalah jilid 3 halaman 1051, tahqiq DR. Ali bin Muhammad Ad Dakhilullah, diterbitkan oleh Darul Ashimah, Riyadh, Arab Saudi, cet. 2, tahun 1412 H.
Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah (th. 213-376 H) dalam kitab beliau Ta’wil Mukhtalafil Hadits hal. 56-57 membawakan ucapan Imam As Sya’bi (Imam dari kalangan Tabi’it Tabi’in) dengan sanadnya, bahwa Malik bin Maghul menyatakan : “Berkata kepadaku As Sya’bi --dan beliau sambil melihat kepada Ashabur Ra’yi (orang-orang yang mengutamakan akal, pent.)-- apabila mereka (ashabur ra’yi) itu membawakan perkataan para shahabat Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka terimalah dan kalau mereka mengkabarkan kepadamu dari pikiran mereka, maka lemparkanlah perkataan itu ke lubang WC.” As Sya’bi menegaskan pula : “Hati-hatilah kalian dari qiyas karena bila kalian mengambilnya sebagai patokan hukum , kalian akan mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” Demikianlah Ibnu Qutaibah menukilkan.
Demikian pula sesungguhnya sejarah penyimpangan umat manusia pada umumnya dan kaum Muslimin pada khususnya, yaitu mereka mulai menggungkan akal pikiran dan perasaan lebih dari keagungan agama Allah. Dan dari sini pula dimulai sejarah filsafat yang dibangun di atas qiyas dengan akal dan perasaan sebagai perangkatnya, yang kemudian melawan agama Allah yang diturunkan oleh Allah dalam bentuk wahyu kepada para Nabi-Nya yang membimbing akal dan perasaan untuk tunduk kepada agama ini.

Definisi Filsafat dan Sejarahnya
Ahlus Sunnah wal Jamaah selalu bersikap adil walaupun terhadap musuhnya. Salah satu sikap adil yang ada pada mereka ialah tidak menghukumi satu permasalahan kecuali dengan data dan hujjah. Data yang dimaksud di sini ialah bukti-bukti lahir dan berita yang shadiq (jujur), atau tsiqah (terpecaya). Atas dasar data inilah kemudian diadakan penilaian dengan hujah (dalil Al Qur’an dan Al Hadits). Dalam rangka mengikuti jejak Ahlus Sunnah Wal Jamaah ini kita perlu tahu apa itu filsafat menurut para ahli filsafat dan juga menurut Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan untuk melengkapi data tersebut harus pula kita ketahui sejarah filsafat ini.
Dalam hal definisi filsafat, Ibnu Qayim rahimahullah menerangkan : “Makna filsafat itu ialah kecintaan kepada hikmah dan filosof arti asalnya ialah pecinta hikmah, berasal dari kata fila artinya pecinta. Dan kata sofa artinya hikmah.” (Ighatsatul Lahafa Ibnu Qayim, jilid 2 hal. 668)
Selanjutnya beliau menerangkan : “Sesungguhnya kaum filosof itu secara tematik artinya ialah siapa saja yang mencintai hikmah dan lebih mengutamakannya. Dan akhirnya jadilah ia dalam pengertian orang banyak sebagai nama yang khusus bagi siapa saja yang keluar dari agama para Nabi dan tidak berpendapat kecuali dengan segala sesuatu yang mencocoki akal pikiran mereka. Dan lebih khusus lagi dari pengertian ini ialah sebagaimana menurut pengertian orang-orang belakangan bahwa kaum filosof itu ialah para pengikut pemahaman Aristoteles, khususnya para pengikut teori evolusi. Yaitu aliran yang telah disajikan pemahamannya dengan ringkas dan jelas oleh Ibnu Sina dan dibela dengan kuat olehnya. Dan pemahaman inilah yang dikenal oleh para ahli ilmu kalam belakangan dan tidak dikenal pemahaman ini selain oleh mereka. Mereka ini adalah aliran yang ganjil di kalangan berbagai alian filsafat, teori-teori mereka asing di hadapan berbagai teori kaum filosof yang lainnya, sehingga dikatakan bahwasannya tidak ada dari kalangan filosof yang berpendapat bahwa berbagai planet ini tidak berpemulaan (yakni tidak ada yang menciptakan, pent.) kecuali Aristoteles dan para pengikutnya, dan dia adalah sebagaimana diketahui adalah orang yang pertama kali berpendapat bahwa alam ini tidak berpemulaan. Sedangkan tokoh-tokoh filsafat sebelumnya berpendapat bahwa alam ini berpemulaan (yakni asalanya tidak ada kemudian ada, pent.). Mereka juga meyakini adanya pencipta yang berbeda dari alam ini dan pencipta itu berada di atas alam ini dan di atas langit dengan Dzat-Nya, sebagaimana hal ini diceritakan oleh orang-orang yang paling tahu berbagai teori kaum filosof di jamannya ialah Abdul Wahid bin Rusydin dalam kitabnya Manahijul Adillah.” Kemudian Ibnu Qayim rahimahullah menerangkan lebih lanjut tentang siapa Aristoteles ini :
“Dia adalah seorang musyrik penyembah berhala dan berbagai teorinya tentang ketuhanan salah semua dari awal sampai akhirnya. Sesungguhnya segenap teorinya ini telah dibantah oleh berbagai kelompok yang ada di kalangan kaum Muslimin, bahkan Jahmiyah, Mu’tazilah, Qadariyah, Rafidlah dan filosof Islam mengingkari berbagai teori Aristoteles tersebut dan memang teorinya tentang ketuhanan menggelikan orang-orang yang berakal. Ia mengingkari keyakinan bahwa Allah mengetahui segala yang ada dan dia meyakini demikian beralasan dengan pemahamannya bahwa Allah mengetahui sesuatu berarti Dia sempurna dengan pengetahuan-Nya dan tidak sempurna pada Dzat-Nya dan berarti pula Dia akan ditimpa capek dan penat dalam mencapai berbagai pengetahuan itu. Demikianlah ujung pemikiran penggagas dan guru besar teori ini. Hal ini telah diceritakan oleh Abdul Barkat dan beliau telah dengan kuat membantah dan menggugurkan berbagai argumentasi Aristo ini. Maka sesungguhnya hakikat yang diyakini oleh penggagas pemikiran ini dan para pengikutnya ialah : Kufur (pengingkaran) kepada Allah Ta’ala, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan hari akhirat. Dan para pengikutnya dari kalangan atheis menempuh jalan pikirannya yaitu orang-orang yang berkedok sebagai pengikut Rasul.
Aristoteles adalah peletak dasar pertama berbagai pemikiran atheisme yang datang sesudahnya. Para pengikutnya mengagungkannya lebih daripada pengagungan yang diberikan kepada para Nabi dan mereka berpandangan bahwa apa yang datang dari para Nabi harus diuji kebenarannya dengan omongan Aristoteles, maka bila omongan para Nabi itu mencocoki omongan Aristo, mereka pun menerimanya dan apa yang menyelisishi omongannya ditolaklah omongan para Nabi tersebut. Mereka menamai Aristoteles esbagai penggagas atau guru pertama karena dialah orang pertama yang meletakkan teori-teori mantiq.
Aristoteles dan pengikutnya beranggapan bahwa mantiq adalah patokan untuk menimbang benar salahnya makna-makna kalimat.
Para peneliti Islam (dari kalangan ulamanya) telah menerangkan rusaknya mantiq ini dan bengkoknya. Juga ia dapat merusakkan akal dan merendahkan pikiran. Para ulama yang membantah ilmu ini telah menulis berbagai bantahan dan bukti kerusakannya dalam banyak buku. Dan orang terakhir yang menulis buku sedemikian ini (menurut pengetahuan Ibnu Qayim, pent.) adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau telah menulis bantahan terhadap ilmu mantiq dalam dua kitab, yang satu besar (yaitu Dar’u Ta’arudlil Aqli wan Naqli, pent.) dan yang satunya lagi kecil (yaitu Ar Raddu alal Mantiqiyyin, pent.). Beliau menerangkan padanya berbagai kontradiksi yang ada pada teori-teori mantiq dan rusaknya banyak teori-teori ilmu ini. Juga aku (yakni Ibnu Qayim, pent.) melihat kitab bantahan terhadap ilmu ini yang ditulis oleh Abu Said As Sirafi.
Demikian, sesungguhnya bahwa setiap segenap kaum atheis mengembangkan pemahamannya dengan pengaruh teori-teori guru pertama ini, sehingga berlanjutnya taqlid mereka dengan guru kedua bagi mereka, yaitu Abu Nashr Al Farabi. Dia meletakkan bagi mereka berbagai teori tentang suara, sebagaimana guru pertama telah meletakkan bagi mereka teori-teori tentang huruf. Kemudian Al Farabi berbicara tentang mantiq dalam lingkup yang lebih luas lagi, dia menguraikannya dan menjelaskan filsafat Aristoteles dan menatanya kembali, dan dia menumpahkan segala kesungguhannya dalam misinya ini. Dan dia menjalankan pemahaman pendahulunya (yakni Aristo, pent.) yaitu kufur kepada Allah Ta’ala, dan Malaikat-Nya, dan Kitab-Nya, dan para Rasul-Nya, dan hari akhirat. Sehingga dalam pandangan mereka, setiap filosof bila tidak bersikap demikian (yakni bersikap kufur kepada Allah dan lain-lain, pent.), berarti dia bukan filosof yang hakiki … “ Demikian Ibnu Qayim menjelaskan.
Beliau melengkapi lagi penjelasannya sebagai berikut : “Kaum filosof itu tidak hanya ada pada satu umat tertentu, bahkan mereka itu ada pada segenap umat. Walaupun yang paling banyak dikenal oleh banyak orang dalam perkara filsafat ini ialah berbagai teori para filosof Yunani. Padahal mereka ini adalah sekelompok dari berbagai kelompok filosof, dan mereka adalah satu bangsa dari berbagai bangsa, mereka mempunyai kerajaan dan raja-raja, dan ulama mereka ialah para filosof mereka . Termasuk raja-raja mereka ialah Iskandar Al Maqduni, dia putra Philipus. Bukanlah ia Iskandar Dzul Qarnain yang dikisahkan oleh Allah dalam Al Qur’an. Bahkan antara dua Iskandar ini ada jarak masa sekian banyak abad, dan antara keduanya ada perbedaan agama yang sangat besar. Dzul Qarnain adalah orang yang shalih muwahid (bertauhid) kepada Allah Ta’ala, beriman kepada Allah Ta’ala dan para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan hari akhir. Beliau memerangi para penyembah berhala dan melakukan perjalanan jihad ke timur dan barat bumi. Beliau pula yang membanguin tembok penghalang antara tempat manusia dan tempat Ya’juj wa Ma’juj. Adapun Iskandar Al Maqduni adalah seorang musyrik penyembah berhala begitu pula segenap rakyatnya. Hidupnya sekitar sekitar seribu enam ratus tahun sebelum Isa Al Masih alaihis salam dan orang-orang Nashara memasukkan ia dalam penanggalan mereka. Dan Aristoteles adalah menteri kabinet kerajaannya yang juga seorang musyrik penyembah berhala. Dia pula yang menyerang Daran bin Daran raja Persia sampai ke dalam istananya dan menghancurkan singgasananya dan mencerai-beraikannya, kemudian dia masuk menyerang Cina dan India serta negeri Turki sambil membunuh dan merampas. Bangsa Yunani pada masa pemerintahannya memperoleh kemegahan dan kerajaannya dengan sebab menterinya, yaitu Aristo yang juga sebagai penasehatnya dan kepala pemerintahan kerajaannya. Setelah Iskandar Al Maqduni ini, negara Yunani dipimpin oleh raja-raja bergelar Batlomeos sebagaimana Persi dipimpin oleh Kisra dan Romawi dipimpin Qaishar. Kemudian setelah itu mereka dikalahkan oleh Romawi dan kerajaan mereka diduduki oleh Romawi sehingga bangsa Yunani menjadi rakyat kerajaan Romawi dan hancurlah kerajaan Yunani sehingga menjadi satu dengan kerajaan Romawi. Mereka juga tetap di atas kemusyrikan penyembahan berhala sebagai agama negara. Pernah juga dari orang-oranga Yunani musyrikin tampil orang yang bernama Sokrates, salah seorang murid Phitagoras. Semula dia adalah sama dengan mereka, yaitu penyembah berhala, tapi setelah itu Sokrates menyatakan penentangannya terhadap penyembahan berhala yang ada di kalangan mereka. Dia menantang para tokoh mereka dengan berbagai dalil argumentasi yang menunjukkan kebatilan penyembahan terhadap berhala. Maka bangkitlah masyarakat menentangnya dan mereka memaksa raja untuk membunuhnya. Sehingga raja pun memenjarakannya agar menenangkan mereka dari tantangan Sokrates. Tetapi kaum musyrikin tidak akan puas kecuali bila raja membunuhnya. Maka raja pun karena takut dari mereka, meminumkan racun kepada Sokrates hingga ia terbunuh setelah terjadi berbagai perdebatan yang panjang antara dia dan kaum musyrikin itu. Pendiriannya tentang sifat-sifat Allah mendekati pendirian kaum Mukminin yang menetapkan adanya sifat-sifat kemuliaan itu. Dia menyatakan : ‘Sesungguhnya Ia adalah Tuhan segala sesuatu dan Penciptanya, dan Penentunya juga. Dan Ia adalah Dzat Yang Maha Perkasa. Dia tidak mungkin dikalahkan. Dia mempunyai sifat Hakim dalam perbuatan-Nya dan pengaturan-Nya.’ Sokrates menyatakan pula bahwa Tuhan itu adalah Dzat yang ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, wujud-Nya, dan hikmah-Nya tidak terbatas yang akal tidak mungkin mampu menerangkan batas berbagai sifat kemuliaan-Nya itu.”
Demikian Ibnul Qayim menerangkan tentang berbagai pemahaman Sokrates. Kemudian beliau memberikan penilaian terhadapnya sebagai berikut : “Omongannya tentang hari kebangkitan dan tentang sifat-sifat Allah serta tentang permulaan alam ini lebih dekat kepada omongnnya para Nabi daripada omongan para filoosof lainnya. Secara keseluruhannya, Sokrates adalah filosof yang paling dekat kepada sikap membenarkan para Rasul, dan karena inilah dia dibunuh oleh kaumnya.”
Di sini Ibnul Qayim menegaskan bahwa sebelum Aristoteles, pernah muncul di kalangan Yunani tokoh filosof yang lebih mendekati apa yang disampaikan para Nabi dan Rasul dari Allah subhanahu wa ta'ala. Ia adalah Sokrates dan kemudian muridnya bernama Plato. Tetapi kemudian Sokrates dibunuh, sedangkan Plato tidak seagresif gurunya dalam membantah penyembahan berhala sehingga muncullah darinya seorang murid yang durhaka bernama Aristoteles. Ia membantah Plato dahn Sokrates dalam banyak hal serta membela penyembahan berhala sehingga dengan itu dia sangat diagungkan kaumnya. Sehingga yang dikenang dari Yunani kuno adalah warisan agama Aristoteles, sedangkan pemahaman Sokrates dan Plato larut dalam kuatnya arus pengaruh Aristoteles yang mendominasi filsafat Yunani dan para filosofnya. Inilah sesungguhnya dasar filsafat Barat yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh kaum Muslimin sehingga membangkitkan semangat ahlul bid’ah di kalangan Muslimin untuk menyerang aqidah Islamiyah khususnya dan menyerang pemahaman Salafus Shalih terhadap Al Qur’an dan Al Hadits, bahkan berusaha pula untuk meruntuhkan keduanya secara keseluruhan dari keimanan kaum Muslimin kepada keduanya.
Disebutkan oleh Dr. Muhammad Al Bahiy dalam kitabnya Al Janibul Ilahi minat Tafkir Al Islami halaman 189 (terbitan Maktabah Wahdah, tanpa tahun) bahwa kaum Muslimin mulai menerjemahkan buku-buku filsafat Grik ke dalam bahasa Arab pada masa pemerintahan khalifah kedua Abbasiyah yakni Abu Ja’far Al Manshur pada tahun 132 H/749 M. setelah itu berbagai buku filsafat dari berbagai bangsa juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sehingga kaum Muslimin diserang dari berbagai penjuru oleh berbagai pemahaman filsafat tersebut. Sehinggga Ghazwul Fikri (perang pemikiran) semakin dahsyat dilancarkan terhadap kaum Muslimin. Akibatnya muncullah dari kalangan anak-anak Muslimin, orang-orang yang berani terang-terangan melecehkan Al Qur’an dan Al Hadits dengan penafsiran bathil yang membawa kepada kekafiran. Sehingga muncullah di kalangan umat Islam, orang-orang zindiq semacam Al Farabi yang menyatakan keyakinannya bahwa alamn raya ini adalah sesuatu yang tidak berpemulaan dan tidak hancur. Ia (alam) menciptakan dirinya sendiri dan tidak ada yang menciptakannya. Demikian pula Ibnu Sina yang lebih banyak lagi karya tulisnya dalam mempertahankan berbagai prinsip-prinsip Al Farabi.
Kemudian setelah itu Ibnu Arabi yang lebih banyak lagi karya tulisnya dalam menyatakan kekafiran dirinya kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan kepada adanya hari kiamat. Dan terus bermunculan para tokoh filsafat dari kalangan umat Islam, yang kemudian menjadi pemicu terjadinya pertempuran yang dahsyat antara para pentolan filsafat di satu pihak, melawan para ulama Ahlul Hadits di pihak lain.
Demikianlah definisi dan sejarah filsafat yang cukup menggambarkan kepada kita betapa kerasnya pertentangan antara filsafat dengan agama Allah yang dibawa oleh para Nabi-Nya. Ini menunjukkan betapa kerusakan yang ditimbulkan oleh filsafat dalam keyakinan kaum Muslimin terhadap agamanya.

Peringatan Para Ulama

Menyadari betapa besar kerusakan yang ditimbulkan filsafat terhadap pemahaman kaum Muslimin terhadap agamanya, maka para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dulu dan sekarang tiada henti-hentinya memperingatkan umat Islam dari bahaya filsafat. Ilmu-ilmu filsafat dikembangkan dalam bentuk-bentuk baru seperti ilmu kalam, ilmu mantiq, ilmu falaq, dan lain-lain. Ini adalah dalam rangka mengelabuhi umat Islam dari pertentangan filsafat dengan Islam sehingga menyeret umat Islam keluar dari agamanya tanpa terasa. Dalam hal ini Al Hafidh Jamaluddin Abil Faraj Abdurrahman Ibnul Jauzi Al Baghdadi rahimahullah (meninggal tahun 597 Hijriah), beliau menerangkan dalam kitab karyanya berjudul Talbis Iblis halaman 82 (cet. Maktabah An Nahdlah, tahun 1928 M) : “Sesungguhnya iblis apabila telah berhasil menyesatkan orang-orang bodoh dengan menjerumuskan mereka ke dalam sikap taqlid (yakni mengikuti tanpa mengerti, pent.) dan menggiring mereka seperti menggiring binatang ternak. Iblis pun kemudian melirik golongan lain dari Bani Adam yang mereka ini mempunyai kecerdasan dan kepandaian. Maka mereka pun disesatkan sesuai dengan kadar kemampuannya menguasai mereka. Maka sebagian dari mereka digiring kepada kesan betapa jeleknya kejumudan dalam bertaqlid dan dianjurkan setelah itu untuk memahami agama dengan akal pikirannya sendiri dan kemudian setiap dari mereka disesatkan dengan berbagai cara. Sebagian mereka disesatkan dengan satu kesan, bahwa terpaku dengan pengerian dhahir syariat adalah kelemahan, sehingga mereka digiring kepada salah satu dari madzhab-madzhab filsafat. Dan terus mereka berkembang dalam madzhab filsafat itu dalam memahami makna batin syariah, sehingga filsafat itu mengeluarkan mereka dari Islam.
Selanjutnya Ibnul Jauzi menegaskan : “Dari mereka ini ada pula yang disesatkan oleh iblis dengan digiring kepada kesan baiknya prinsip tidak mempercayai adanya sesuatu kecuali kalau sesuatu itu bisa dirasakan keberadaannya oleh panca indera. Dikatakan kepada mereka : Dengan panca indera, kalian bisa mengetahui bukti kebenaran omongan kalian.”
Kemudian beliau menambahkan : “Dan sebagian mereka (orang-orang yang cerdas dan pandai) itu ada yang ditanamkan rasa benci oleh iblis terhadap taqlid dan sebagai gantinya ditanamkan semangat mendalami ilmu kalam dan meneladani sepak terjang kaum filosof, agar dengan cara demikian mereka bisa keluar dari lingkup orang awam. Demikianlah anggapan mereka. Padahal sesungguhnya beraneka ragam kesesatan para ahli ilmu kalam yang dengan ilmu kalam itu telah menjerumuskan mayoritas mereka kepada berbagai keraguan dan bahkan sebagian mereka telah terjerumus ke dalam atheisme.
Dan para ulama ahli fikih terdahulu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka diam, tidak mau bicara tentang ilmu kalam, bukannya karena mereka tidak mampu untuk berbicara tentang hal tersebut, tetapi karena semata-mata karena mereka melihat bahwa ilmu kalam ini tidak akan menghilangkan dahaga orang yang haus dan kemudian orang yang sehat dengan ilmu ini tidak bisa menolak penyakit. Oleh karena itu mereka para ulama menahan diri untuk berbicara tentang ilmu ini dan mereka melarang umat untuk mendalami ilmu ini. Sehingga Al Imam Syafi’i mengatakan : ‘Sungguh seandainya seorang hamba Allah terjatuh pada segenap apa yang dilarang oleh Allah selain syirik, lebih baik baginya daripada mempelajari ilmu kalam.’ Beliau (Imam Syafi’i) menyatakan pula : ‘Apabila engkau mendengar ada seseorang memperdebatkan tentang apakah nama Allah itu menunjukkan sifatnya atau tidak menunjukkannya, maka persaksikanlah bahwa orang yang berbicara demikian ini tidak ada agamanya.’ Juga beliau menyatakan : ‘Hukuman terhadap ulama ilmu kalam ialah mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian dikelilingkan di berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan mereka : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan terjun dalam ilmu kalam.’
Berkata Al Imam Ahmad bin Hambal : ‘Tidak akan selamat selamanya orang yang berpegang dengan ilmu kalam. Ulama ilmu kalam itu adalah para zindiq (yakni orang-orang yang menyembunyikan di hatinya kekafiran, tetapi menampakkan keimanan).’ ” Demikianlah Ibnul Jauzi membawakan keterangan dan menukil perkataan ulama Ahlus Sunnah tentang kedudukan ilmu kalam dan jahatnya ulama ilmu kalam. Padahal ilmu kalam hanyalah sebagian dari ilmu-ilmu filsafat.
Masih terlalu banyak peringatan dan nasehat para ulama tentang bahaya ilmu-ilmu filsafat. Seandainya tidaklah karena keterbatasan halaman di majalah ini, kita akan bawakan sebanyak-banyaknya berbagai nasehat para ulama tersebut. Tetapi sedikit keterangan yang kami bawakan ini kiranya cukup menjadi peringatan bagi pembaca tentang bahaya ilmu-ilmu filsafat terhadap iman kita kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

Penutup

Demikianlah serunya pergolakan antara filsafat dengan Islam dan pergolakan ini terus berlangsung sampai hari ini, bahkan sampai hari kiamat. Ketika orang bersemangat dengan ilmu Al Qur’an dan Al Hadits maka filsafat akan terabaikan. Sebaliknya bila orang mulai mengabaikan ilmu Al Qur’an dan Al Hadits, maka mereka pun berkecenderungan kuat terhadap filsafat. Oleh karena itu untuk mengantisipasi berbagai kerusakan filsafat, umat Islam harus dibangkitkan semangat mereka mencintai dan mempelajari ilmu Al Qur’an dan Al Hadits agar mengerti Al Haq dan Al Bathil dari sumber yang haq dan pasti. Dengan begitu mereka dapat menolak kebingungan dan kerancuan filsafat.

Daftar Kepustakaan

1.      Al Qur’anul Karim dan terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, Departemen Agama RI, terbitan Mujamma Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fahdi li Thiba’at Al Mushaf Asy Syarif, Saudi Arabia.
2.      Tafsir Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabari (meninggal tahun 310 H), Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Libanon, cet. Pertama tahun 1412 H/1992 M.
3.      Tafsir Ibnu Katsir, Al Hafidh Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Katsir Al Qurasyi Ad Dimasqiy (meninggal tahun 774 H), Matba’ah Musthafa Muhammad Al Maktabah At Tijariyah, Mesir, cetakan Tahun 1356 H/1937 M.
4.      Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, Al Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al Atsqalani (meninggal tahun 852 H), Al Maktabah As Salafiyah, tanpa tahun.
5.      Ta’wilu Mukhtalafil Hadits, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (meninggal tahun 376 H), Darul Kutub Al Ilmiyah, tanpa tahun.
6.      Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, Darul Kutub Al Ilmiyah, tanpa tahun.
7.      I’lamul Muwaqi’in, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar Ibnu Qayim Al Jauziyah (meninggal tahun 751 H), Darul Fikr, Beirut, Libanon, cetakan kedua tahun 1397 H/1977 M.
8.      Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani meninggal tahun 1255 H), Idaratut Thiba’ah Al Muniriyah, Mesir, tanpa tahun.
9.      As Shawaiqul Mursalah, Ibnul Qayim Al Jauziyah, tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Ad Dakhilullah, Darul Ashimah, Riyadh, Saudi Arabia, cet. 2, tahun 1412 H.
10.  Ighatsatul Lahafan fi Mushaidis Syaithan, Ibnu Qayim AL Jauziyah, dengan tahqiq Basyir Muhammad Uyun, Maktabah Al Mu’ayyad, Riyadh, Saudi Arabia, cet. pertama, tahun 1414 H/1993 M.
11.  Al Janibul Ilahi minat Tafkir Al Islamy, Dr. Muhammad Al Bahiy, Maktabah Wahdah, tanpa tahun.
12.  Talbis Iblis, Al Hafidh Jamaluddin Abul Faraj Abdurrahman Ibnul Jauzi Al Baghdadi (meninggal tahun 597 H), Maktabah Al Nahdlah, tahun 1928 H.
13.  Kamus Filsafat, Lorens Bagus, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 1996, edisi pertama.