PARADIGMA TASAWUF DAN MASA DEPAN
ISLAM
Prof.
Dr. Syafiq A. Mughni
Persoalan besar yang muncul di
tengah-tengah umat manusia sekarang ini adalah krisis spiritualitas. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, dominasi rasionalisme, empirisisme, dan positivisme
ternyata membawa manusia kepada kehidupan modern di mana sekularisme menjadi
mentalitas jaman dan karena itu spiritualisme menjadi suatu anatema bagi
kehidupan modern. Seyyed Hosein Nasr menyayangkan lahirnya keadaan ini sebagai
the plight of modern men, nestapa orang-orang modern (Nasr, 1987). Keadaan ini
merupakan kelanjutan dari apa yang telah berkembang di Eropah pada akhir abad
pertengahan sebagai reaksi terhadap jaman sebelumnya di mana doktrin agama
(Nasrani) yang dirumuskan oleh gereja mendominasi semua aspek kehidupan,
sehingga mengakibatkan bangsa Barat tetap berada pada jaman kegelapan. Lahirnya
jaman modern di Eropah serta merta masuk ke dunia Islam, dan begitu kuatnya
pengaruh itu sehingga krisis yang sama juga hampir dialami oleh beberapa bagian
dunia Islam (Cox: 181-190) yang memilih strategi pembangunan sekular dan karena
itu menjauhkan semangat agama dari proses modernisasi.
Sekalipun krisis spiritualitas
menjadi ciri peradaban modern, dan modernitas itu telah memasuki dunia Islam,
masyarakat Islam tetap menyimpan potensi untuk menghindari krisis itu. Sebabnya
ialah sebagian besar dunia Islam belum berada pada tahap perkembangan kemajuan
negara-negara Barat. Keadaan ini sangat menguntungkan karena memiliki
kesempatan untuk belajar dari pengalaman mereka dan membangun strategi
pembangunan yang mampu mengambil aspek-aspek positif dari peradaban Barat dan
sekaligus menghilangkan aspek-aspek negatifnya. Hal ini bisa dilakukan dengan
mempertahankan dasar-dasar spiritualisme Islam agar tetap terjaga kehidupan
yang seimbang (ummatan wasathan).
Dalam sejarah Islam terdapat
khazanah spiritualisme yang sangat berharga, yakni sufisme. Ia berkembang
mengikuti dialektika jaman sejak Nabi Muhammad saw sampai sekarang baik dalam
bentuk yang sederhana dan ortodoks, maupun yang elaborate dan heterodoks. Perkembangan sufisme
mencerminkan ragamnya pemahaman terhadap konsep akhlaq dalam kehidupan sosial
dan ihsan dalam kehidupan spiritual.
Jika dilihat dalam konteks sejarah,
ragamnya pemahaman itu muncul dalam beberapa fase perkembangan. Pada awal
Islam, terutama periode Makkah, begitu jelas al-Qur'an menekankan pentingnya
spirirualisme itu. Tetapi hal ini paralel dengan orientasi kesadaran profetik,
di mana pengalaman spiritual tidak hanya ditujukan bagi spiritualisme itu
sendiri, tetapi bermakna bagi pembangunan etika yang menggerakkan sejarah
kehidupan umat Islam. Dalam tahap selanjutnya, spiritualitas itu muncul dalam
bentuk kehidupan zuhd ketika umat Islam menikmati kemewahan dengan terciptanya
imperium yang luas.
Kehidupan zuhd menjadi reaksi
terhadap kehidupan yang sekular dan sikap penguasa dinasti Umayyah di istana
mereka, yang kebanyakan bersikap kontras terhadap kesalehan dan kesederhanaan Khalifah yang Empat.
Selama dua abad sejak kelahiran
Islam, tasawuf merupakan fenomena individual yang spontan. Ia menjadi ciri dari mereka yang dikenal dengan
sebutan zuhhad
(orang-orang zuhud), nussak (ahli ibadah), qurra' (pembaca al-Qur'an), qushshash (tukang
kisah) dan bukka' (penangis). Mereka
menjauhkan diri dari hingar bingar kemewahan duniawi dan ketegangan politik di masanya.
Setelah itu, ketika cara hidup sufi dikenal
sebagai cara tertentu, istilah sufi secara pelan-pelan mengantikan nama zuhhad, nussak dan lain-lain. Muncullah beberapa nama besar sufi, seperti
Ibrahim ibn Adham (w. 174/790), Rabi'ah
al-'Adawiyyah (w. 185/801), dan lain-lain. (Rahman: 132). Kemudian, muncul organisasi sufi
yang ditunjukkan kepada pertemuan
yang informal dan longgar untuk diskusi agama, dan latihan spiritual, yang disebut halqah. Pada masa ini mucul
para sufi,
seperti Sahl al-Tustari (w. 283/896) dan al-Junayd al-Baghdadi(w. 297./910).
Pembacaan dzikir bisa dilaksanakan di mana saja, termasuk masjid. Keadaan ini berlangsung sampai dengan abad ke-5/ke-11.
Sejak abad ke-6/ke-12, praktek yang
simpel ini berkembang menjadi
konsep spiritual yang elaborate dan terorganisasi dalam bentuk tarekat (thariqah). Organisasi ini memiliki hirarki kepemimpinan, inisiasi atau baiat,
formula dzikir dan silsilah yang diyakini
sampai kepada shahabat Nabi. Jadi, tasawuf yang semula menjadi amalan individual atau pemikiran spekulatif sekarang menjadi terstruktur dan kemudian
berkembang secara massal.
Pasca abad ke-6/ke-12 dunia Islam
didominasi oleh tarekat yang memainkan
peran besar dalam kehidupan sosial dan politik (Hodgson: 204). Dunia
Islam pasca abad ke-6/ke-12 ditandai dengan lahirnya tarekat-tarekat yang kemudian menjadi jaringan internasional
yang pengikutnya
bebas lalu-lalang melintasi batas-batas kekuasaan dinasti. Pada akhir abad itu muncul tarekat Qadiriyyah yang dinisbahkan kepada Abd al-Qadir
al-Jilani (w. 561/1166). Ia menjadi salah
satu tarekat yang paling kuat dan dikenal dengan kesalehan dan humanitarianismenya. Berdiri di
Baghdad, ia berkembang ke barat
di Afrika Utara dan kemudian Afrika Hitam, ke timur sejauh Indochina dan ke utara di Turki.
Sedikit lebih kecil dari tarekat itu adalah
Suhrawardiyyah, yang berkembang dari ajaran tasawuf
'Umar al-Suhrawardi, yang meninggal
dekat Zanjan, Persia, pada tahun
632/1236. Tarekat ini ditemukan di Afghanistan dan anak benua India.
Sekitar akhir abad ke-8/ke-14
tarekat ini memberikan inspirasi terhadap
lahirnya tarekat Khalwathiyyah, yang didirikan di Persia oleh 'Umar al-Khalwathi (w.
800/1398). Ia berkembang di Turki dan selama
abad ke-12/ke-18 masuk ke Mesir dan Timur Tengah. Sejaman dengan 'Abd al-Qadir al-Jilani, di kota Bashrah,
Iraq, Ahmad
al-Rifa'i (w. 578/1182), mendirikan tarekat Rifa'iyyah. Ia berkembang ke Mesir, Turki dan
beberapa bagian Asia Tenggara.
Abu al-Hasan al-Syadzili (w.
656/1258) juga melahirkan tarekat yang
berpengaruh di Sudan Timur. Tarekat ini pada abad ke-9/ke-15 direformasi dalam bentuk tarekat Jazuliyyah di Marokko. Ajaran-ajaran spiritual
Ahmad al-Tijani (w. 1230/1815) di Fez
juga membuahkan tarekat Tijaniyyah yang berkembang di Aljazair, Marokko dan Afrika Barat.
Ahmad Yasawi (w. 562/1167)
mendirikan Yasawiyyah di Turki. Tarekat ini berpengaruh di Turkestan Barat, dan dari tarekat induk itu
lahir tarekat Bektasyiyyah, yang ikembangkan
oleh Hajji Bektasy. Ia berkembang di Anatolia. Tarekat lain yang
berkembang dari Asia
Tengah ke Turki dan wilayah Islam timur adalah Naqsyabandiyyah yang didirkan pada abad ke-8/ke-14 di Bukhara oleh Baha' al-Din Naqsyaband (w.
791/1389). Naqsyabandiyyah berkembang
di India, Cina dan Kepulauan Nusantara. Di India ia diperkenalkan oleh Baqi Billah pada abd ke-10/ke-16 dan dikembangkan oleh salah seorang
muridnya Ahmad Sirhindi pada abd
ke-11/ke-17 yang dikenal dengan tarekat mujaddidiyyah karena pikiran-pikirannya yang reformatif
terhadap tarekat itu. Oleh Syaikh Ahmad
Khatib Sambas (w. 1878), yang tinggal dan wafat di kota suci Makkah, ajaran Naqsyabandiyyah digabung dengan Qadiriyyah dan dibawa oleh
murid-muridnya ke Indonesia (van Bruinessen:
89-92).
Tarekat yang sangat berpengaruh di
kalangan bangsa Turki adalah Mawlawiyyah
yang diajarkan oleh Jalal al-Din Rumi (w. 672/1273). Karena tekanan Kemal Ataturk ia kemudian terbatas di Timur Tengah, terutama Aleppo. Di anak
benua India, di samping
Qadiriyyah dan Naqsyabandiyyah,
tarekat yang utama adalah Chistiyyah,
didirikan oleh Mu'in al-Din Chisti, yang meninggal di Ajmer pada tahun 633/1236 (Rahman: 158-165; Schimmel: 244-258)
Ada dua sebab yang menjadikan
tarekat begitu menarik masyarakat
Islam sejak abad ke-6/12. Pertama ialah factor al-Ghazali (w. 505/1111). Dalam suasana pertentangan klaim
jalan untuk
mencapai kebenaran, ia telah mempelajari dengan cermat berbagai aliran utama Islam, dan pada akhirnya setelah
mengalami krisis
intelektual, ia menemukan tasawuf sebagai jalan yang paling valid untuk melihat kebenaran.
Begitu kuatnya pengaruh pikiran al-Ghazali
yang bukan saja menata kembali teologi Islam dan membersihkan tasawuf dari elemen-elemen tidak Islami,
al-Ghazali berhasil
menjadikan tasawuf sebagai bagian integral dari ajaran Islam. Melalui al-Ghazali tasawuf menerima pengakuan ijma'
umat Islam
(Rahman: 140; Hodgson: 203). Kedua ialah jatuhnya imperium Islam dan dengan demikian muncul perasaan tidak aman di kalangan masyarakat Islam. Pada
tahun 1258 Baghdad dihancurkan
oleh bangsa Mongol yang kemudian menguasai wilayah-wilayah Persia dan Asia Tengah. Wilayah-wilayah itu mengalami kehancuran baik oleh
Mongol maupun penguasa-penguasa
berikutnya. Dalam keadaan seperti itu, masyarakat
mencari perlindungan yang akhirnya menemukan tarekat sebagai institusi yang mengisi kevakuman pemerintah
yang stabil dan
menjamin tatanan sosial. (Hodgson: 202). Ketiga ialah keyakinan bahwa tasawuf mampu mengantarkan manusia berkomunikasi langsung dengan Tuhan
dan jaminan itu diberikan oleh
tarekat.
Ajaran tarekat tentang berkah,
syafaat, karamah dan ziarah kubur berfungsi
mempertautkan batin manusia dengan Tuhan melalui tarekat. Keempat ialah bahwa tasawuf yang diajarkan oleh
tarekat bersikap
sangat toleran terhadap keyakinan dan praktek keagamaan lokal. Sikap ini sangat menarik mereka yang baru
saja masuk Islam
dan setengah Islam. Dengan
luasnya pengaruh tarekat di dunia Islam pada abad-abad pertengahan, maka ia mengambil alih peran para penguasa dan pasukan Islam dalam membuka wilayah
baru bagi Islamisasi. Gerakan-gerakan
tarekat melakukan pengislaman di kalangan penduduk Afrika Hitam, anak benua India dan Asia Tenggara. Faktor Islamisasi itu bukan saja
terletak pada toleransi dan akomodasi kepercayaan dan praktek pra-Islam, tetapi
juga pada kemampuan para tokoh sufi untuk menampilkan diri sebagai orang suci
yang memiliki kesaktian supernatural. Kisah Farid al-Din Ganj-i Syakr (w. 1245 M) tampaknya
menggambarkan pola Islamisasi
melalui tasawuf. Ia adalah salah seorang syaikh dari tarekat Chistiyyah. Baba Farid, begitu ia dipanggil, tinggal
di suatu
tempat yang sekarang disebut
Pak-pattan, sebuah desa di dataran India
utara. Suatu
tempat yang berdebu, rumah-rumahnya terbuat dari tanah liat, dihuni oleh orang-orang yang terkenal buta huruf,
takhayul dan suka
berkelahi. Baba Farid datang ke desa itu untuk menjauhkan diri dari kemewahan dan godaan
istana di Delhi. Selama bertahun-tahun
ia melakukan zuhud, menolak kesenangan duniawi, dan menghabiskan waktunya untuk sembahyang. Di Pak-pattan ia berhenti di pinggir desa di bawah
pohon, membuka tikar shalatnya, dan
tinggal beberapa lama sendirian. Setelah beberapa saat ia mulai mengenal pengunjungnya.
Orang-orang mengenalnya sebagai
orang suci. Orang miskin datang untuk minta kesembuhan, jimat dan nasehat tentang persoalan keluarga . Orang-orang juga memintanya untuk menghubungkan dengan tuan tanah dan penarik pajak. Pejabat,
pemilik tanah, dan orang kaya datang
minta nasehat. Kepala suku datang minta bantuan dalam menyelesaikan pertentangan di kalangan mereka. Pedagang mencari perlindungan agar melewati
desa itu dengan aman. Ketika reputasinya
berkembang, Baba Farid mendapatkan dana yang cukup untuk membangun ribath (semacam padepokan). Murid-murid berdatangan untuk
tinggal bersamanya. Di mata pengikutnya, kedisiplinan, kerajinan shalat dan
keberhasilannya sebagai dukun adalah karamah yang bersumber dari berkah Tuhan. Cerita
terus bergulir, dan ia kemudian dikeramatkan. Atas namanya orang-orang masuk
Islam (Mughni, 1992: 90; Lapidus: 444-445).
Di samping sisi peran positif itu,
tarekat ternyata memunculkan sisi negatif
berupa pesimisme, kultus dan sinkretisme. Karena itu, pada abad-abad modern muncul gerakan
yang melakukan reformasi terhadap
berbagai tarekat. Ahmad Sihrindi merupakan contoh yang melakukan kritik terhadap berbagai penyimpangan baik di dalam ajaran tasawuf maupun akibat yang
ditimbulkannya. Sungguhpun kritik
semacam ini telah pernah dilakukan oleh Ibn Taymiyyah pada abad ke-7/ke-13, tetapi gerakan
reformasi ini memiliki pengaruh yang
lebih menentukan pada masa pasca Ahmad Sirhindi. Setelah itu, lahir gerakan yang lebih
radikal menolak sama sekali tasawuf dan
tarekat baik karena penyimpangannya dari ajaran Islam yang autentik mapun akibatnya yang
menjadikan umat mengalami kemunduran.
Gerakan anti tarekat ini, seperti yang dipelopori oleh Muhammad 'Abduh dan Muhammad Iqbal, sangat berpengaruh sejak awal abad ke-20 dan tampaknya
melapangkan jalan bagi proses
modernisasi masyarakat Islam (Hourani: 142; Nasution: 191). Apa
yang diterangkan di atas menggambarkan bahwa di satu pihak perkembangan tasawuf itu merupakan
reaksi terhadap keadaan sosial,
politik dan agama kontemporer. Tasawuf yang bersifat individual dan longgar adalah reaksi terhadap kehidupan yang sekular dan hedonis. Tasawuf
seperti itu kemudian berkembang menjadi
tarekat sebagai reaksi terhadap kevakuman kekuasaan dan kekacauan politik. Di lain pihak, perkembangan tasawuf merupakan hasil proses dialektika
masa sebelumnya. Pada jaman Islam
klasik, tasawuf merupakan kepentingan individu. Setelah itu, pada jaman pertengahan, ia berubah
menjadi tarekat dan bersifat sosial.
Pada jaman modern, muncul arus yang menentang tarekat dan bahkan tasawuf. Pada masa pascamodern, akankah tasawuf dan tarekat itu muncul lagi menjadi
semangat jaman?
Berbagai kritik telah dilakukan
oleh sebagian kalangan terhadap modernisme
yang mempunyai pengaruh begitu kuat dalam peradaban modern. Kritik itu diwakili oleh para penganjur dan penganut post-modernisme, termasuk
beberapa sarjana yang menaruh
perhatian terhadap Islam. Di dunia Islam kaum modernis mewakili suatu kelompok intelektual Muslim yang secara baik memanfaatkan budaya Barat untuk
kepentingan kemajuan Islam.
Namun, Fazlur Rahman melihat mereka
sebagai kelompok yang tercabut
dari akar dan tradisi Islam yang telah berkembang selama berabad-abad. Akar dan tradisi itu
diabaikan begitu saja sehingga pembaharuan
yang mereka lakukan kehilangan originalitasnya. Kritik berikutnya diberikan oleh neo-tradisionalisme yang
diajukan oleh Seyyed
Hossein Nasr. Ia melihat terjadinya malapetaka dalam manusia modern akibat hilangnya spiritualitas yang
sesungguhnya inherent
dalam tradisi Islam. Ia menyatakan bahwa pada abad yang lalu,
gerakan kaum modernis dan kaum reformis di dunia Islam bekerjasama -- walaupun keduanya jelas bertentangan dalam masalah-masalah hukum dan teologi
-- untuk menghancurkan seni dan
kebudayaan Islam serta menciptakan kegersangan dalam jiwa seorang Muslim sehingga selama
beberapa dekade terjadilah penyusupan
manifestasi dunia industrial modern yang begitu buruk akibat pengabaian terhadap signifikansi spiritual Islam oleh
mereka yang
berusaha memodernkan dunia Islam menurut model Barat. Namun, konsepsi Islam ini pasti menciptakan kevakuman dalam jiwa kaum Muslimin dan sangat
menghancurkan kekuatan yang dapat
menentang pengaruh kebudayaan asing yang melemahkan (Nasr, 1993: 216-217). Keluhan Rahman terhadap rendahnya originalitas
pemikir-pemikir Muslim dan
keluhan Nasr terhadap kevakuman spiritualitas menunjukkan pentingnya apresiasi terhadap tradisi Islam. Tentu
saja tradisi itu tidak mungkin
bertahan dalam bentuk dan isinya yang
asli tetapi harus ditempatkan dalam posisi dialog dengan perkembangan jaman. Dalam rangka
dialog itu kita harus melihat kecenderungan
masyarakat di masa depan dan apa pengaruhnya terhadap kehidupan agama. Setelah itu, kita membangun
strategi kebuadayaan
di masa depan. Pada masa
yang akan datang tampaknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta industrialisasi akan
berlangsung terus
irreversible dan sangat menentukan peradaban umat manusia. Namun demikian, masalah-masalah moral dan etika akan ikut mempengaruhi pilihan strategi
dalam mengembangkan peradaban
di masa depan. Hal ini telah terlihat dalam gejala awal bagi meningkatnya tuntutan hak-hak asasi manusia, ajakan
untuk menjadikan
agama sebagai motivasi pembangunan, dan kuatnya semangat agama dalam kehidupan privat maupun publik. Di samping itu, mobilitas intelektual
yang memiliki komitmen agama benar-benar
telah terjadi, dan ini akan sangat mempengaruhi corak peradaban di masa yang akan datang.
Dalam kondisi kebudayaan seperti
itu, ada beberapa kemungkin yang
akan terjadi pada tingkat corak keberagamaan umat Islam. Kemungkinan itu akan sangat
ditentukan oleh berbagai faktor yang saling
menarik, misalnya kekuatan internal atau faktor dinamik ajaran Islam dengan kekuatan eksternal. Mana di antara faktor-faktor itu yang paling
dominan dalam menentukan perjalanan Islam
sangat sulit diramalkan. Karena itulah sering kali perhitungan futurolog ternyata meleset dari
kenyataan. Dengan demikian, kita
hanya bisa memperkirakan beberapa
kemungkinan corak agama yang
akan menjadi mentalite masyarakat di masa mendatang. Pertama ialah kecenderungan bahwa Islam akan semakin kuat menjadi established religion, yaitu
agama yang sangat menekankan
aspek-aspek normatif. Di sini ulama' tetap memegang peran penting dalam rangka menjaga kemurnian agama, dan karena itu mereka memiliki otoritas
untuk berbicara atas nama Islam
yang sesuai dengan ajaran al-Qur'an dan Sunnah.
Kedua ialah kecenderungan bahwa
Islam akan menjadi ethical religion.
Dalam kecenderungan ini, Islam lebih berfungsi sebagai ajaran etika akibat proses modernisasi dan sekularisasi yang secara perlahan-lahan hanya
memberikan peluang yang sangat kecil
bagi penghayatan teologis dan normatif. Keadaan ini telah dialami oleh agama Protestan di
negara-negara Barat. Advokasi terhadap
pemahaman Islam kontekstual dan bukan tekstual sesungguhnya ikut melicinkan jalan bagi lahirnya Islam
sebagai agama
etika.
Ketiga ialah kecenderungan Islam
menjadi spiritual religion. Dalam keadaan ini Islam dihayati dan diamalkan
sebagai sesuatu yang spiritual
sebagai reaksi terhadap perubahan masyarakat yang sangat cepat akibat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan industrialisasi. Orang tidak akan
lagi menghiraukan rigiditas teologis
dan ritual lebih daripada kepuasan dan keamananbatiniyah. John Naisbitt telah
meramalkan kecenderungan ini akan semakin
kuat pada masa yang akan datang (Naisbitt: 275).
Dalam konteks dunia Islam, ketiga
corak Islam itu memiliki kesempatan
yang sama untuk berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan umumnya negara-negara Islam. Bahkan dunia Islambisa
melahirkan sintesis yang kreatif dari tiga corak itu. Pemikiran sintesis ini pernah disuarakan oleh
Ibn Taymiyyah pada abad ke-13 ketika
melihat suatu keadaan di mana sebagian masyarakat Islam melaksanakan agama secara verbal dan formal, sebagian terjerumus ke dalam kultus para
wali, dan sebagian lagi terjerumus ke
dalam sikap antinomian yang mengabaikan ketentuan syari'ah (Memon, 1976). Ibn Taymiyyah
menyatakan penekanan yang sama terhadap
semua sisi ajaran Islam.
Sintesis juga bisa dilakukan dengan
menekankan satu sisi ketika orang
sedang berada pada ujung sisi yang lain. Dalam keadaan seperti ini, tasawuf akan memiliki peran penting dalam mempertahankan keseimbangan budaya
agama. Ia akan sangat berguna
dalam menjinakkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan industrialisasi. Ia juga menjadi penting dalam
mengisi kegersangan
rohaniyah dan memberikan makna spiritual bagi keberhasilan duniawi. Lebih dari itu, dalam situasi yang
tidak stabil akibat
kevakuman institusi politik, tasawuf dalam bentuk tarekat bisa mengambil peran itu. Sebagai
tambahan, tasawuf bisa menjadi wacana
spiritual untuk menghindari keberagamaan yang formalistic dan simbolik (Arifin: 39-40).
Dengan demikian, tasawuf akan menjadi
komponen penting yang harus diperhitungkan dalam strategi membangun peradaban di masa depan.
Spiritualisme baik dalam bentuk
tasawuf, ihsan maupun akhlaq menjadi
kebutuhan sepanjang hidup manusia dalam semua tahap perkembangan masyarakat. Untuk masyarakat yang masih terbelakang, spiritualisme harus
berfungsi sebagai pendorong untuk meningkatkan
etos kerja dan bukan pelarian dari ketidakberdayaan masyarakat untuk mengatasi tantangan hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat maju-industrial,
spiritualisme berfungsi sebagai tali penghubung
dengan Tuhan.
Namun demikian, perlu diingat bahwa
tasawuf tidak bisa dipisahkan dari
kerangka pengamalan agama, dan karena itu harus selalu berorientasi kepada al-Qur'an dan Sunnah. Inilah yang mungkin disebut oleh HAMKA sebagai 'tasawuf
modern', yakni tasawuf yang membawa
kemajuan, bersemangat tauhid dan jauh dari kemusyrikan, bid'ah dan khurafat. Karena itu, gambaran
seorang sufi yang
sejati ialah nabi kita Muhammad saw. Seperti telah disebut di muka, spiritualisme pada generasi pertama Islam dikembangkan bukan untuk
spiritualisme per se, tetapi berfungsi untuk
mendorong gerak sejarah ke depan dan pada saat yang sama membuat hidup menjadi seimbang. Namun demikian, dalam kehidupan riil mungkin saja terjadi
bahwa salah satu aspek ajaran Islam
ditekankan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada jamannya. Bagi masyarakat terbelakang, Islam harus
digambarkan sebagai
ajaran yang mendorong kemajuan. Bagi masyarakat maju-industrial, Islam harus ditekankan sebagai ajaran
spiritual dan moral.
Strategi ini sebenarnya ditujukan untuk menyeimbangkan ayunan pendulum. Ketika pendulum itu bergerak ke ujung kiri,
kita harus
menariknya ke kanan. Demikian juga, ketika ia bergerak ke ujung kanan, kita harus segera
menariknya ke kiri. Dengan cara ini,
maka akan terbangun kehidupan yang
seimbang antara lahir dan batin,
duniawi dan ukhrawi, serta individu dan masyarakat. Keseimbangan ini harus menjadi ruh bagi peradaban di masa depan.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Arifin,
Syamsul dkk. Spiritualitas Islam dan Peradaban
Masa
Depan. Yogyakarta: Sipress, 1996.
Cox,
Harvey. Religion in the Secular City. New York: Simon
&
Schuster, Inc., 1984.
Hodgson,
Marshall. The Venture of Islam, II. Chicago: The
University
of Chicago Press, 1974.
Hourani,
Albert. Arabic Thought in the Liberal Age
1798-1939.
Cambridge: Cambridge University Press, 1983.
Lapidus,
Ira M. A History of Islamic Societies. Cambridge:
Cambridge
University Press, 1988.
Memon,
Muhammad 'Umar. Ibn Taimiya's Struggle against
Popular
Religion.The Hague, 1976.
Mughni,
Syafiq. Dunia Islam Setelah Kehancuran Baghdad
1258.
Laporan penelitian, IAIN Sunan Ampel, Fakultas Adab
Surabaya,
1996/1997.
_______________.
"Sufisme dan Tarekat: Menatap
Spiritualisme
Islam Masa Kini dan Mendatang." Makalah
disampaikan
pada Seminar Asesmen terhadap
Perkembangan
Intelektual Islam, Universitas
Muhammadiyah
Sidoarjo, 19 Januari 1992.
Naisbitt,
John dan Patricia Aburdene. Megatrends 2000: Ten
New
Directions for the 1990's. New York: William Morrow
and
Company, Inc., 1990.
Nasr,
Seyyed Hossein. Menjelajah Dunia Modern. Bandung:
Mizan,
1994.
______________.
Islam and the Plight of Modern Men.
Terjemahan
Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1987.
_____________.
Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung:
Mizan,
1993.
Nasution,
Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah
Pemikiran
dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Rahman,
Fazlur. Islam. Chicago: University of Chicago
Press,
1979.
Schimmel,
Annemarie. Mystical Dimensions of Islam.
Chapel
Hill: The University of Carolina Press, 1983.
Van
Bruinessen, Martin. Tarekat Naqsyabandiyah di
Indonesia.
Bandung: Penerbit Mizan, 1994.