PERGOLAKAN
FILSAFAT VS ISLAM
Pendahuluan
Judul di atas hendak memberitakan
pertentangan yang seru antara Islam sebagai agama yang datang dari Allah dengan
filsafat sebagai agama yang datang dari pendewaan akal. Ringkasnya ialah agama
akal dengan agama Allah. Pertentangan ini berlangsung sejak jaman manusia
merasa tidak terikat lagi dengan agama Allah yang dibawa oleh para Nabi-Nya dan
merasa yakin akal dan perasaannya mampu menggantikan kedudukan agama Allah
dalam membimbing kehidupan manusia di dunia ini. Kecenderungan demikian ini
mulai tumbuh setelah agama Allah yang diajarkan oleh para Nabi itu, sepeninggal
mereka, dirasuki oleh berbagai bid’ah dan khurafat (yakni berbagai kepercayaan
yang dusta diatasnamakan agama para Nabi itu) sehingga akal yang sehat
cenderung menolak agama yang diliputi oleh berbagai bid’ah dan khurafat itu.
Demikianlah proses lahirnya generasi yang terjebak dalam kubangan syahwat
sebagaimana diberitakan oleh Allah dalam firman-Nya di surat Maryam 59-60,
setelah membeberkan Nabi-Nabi besar, kemudian :
“Maka
datanglah sepeninggal mereka generasi yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali
orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih. Maka mereka itu akan masuk
surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” (Maryam : 59-60)
Al Imam Abu Muhammad Abdullah bin
Muslim bin Qutaibah (213-376 H) rahimahullah
dalam kitab beliau Ta’wilu Mukhtalafil
Hadits halaman 53 membawakan perkataan Ibnu Rahuyah rahimahullah tentang orang-orang Ashabur Ra’yi (yaitu orang yang cenderung merujuk kepada akal
pikiran dan perasaan dalam memahami Islam), beliau menyatakan : “Mereka ini
mencampakkan Kitabullah (yakni Al Qur’an) dan sunnah-sunnah (ajaran) Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan
mereka menancapkan qiyas dalam memahami Islam”. Demikianlah Ibnu Qutaibah
menukilkan perkataan salah seorang Imam Ahlul Hadits tentang Ashabur Ra’yi yang
kiranya bisa membantu kita memahami betapa bahayanya merujuk kepada akal
pikiran dan perasaan dalam memahami agama yang berakibat menyingkirkan agama
itu sendiri dan kemudian meletakkan dasar agama baru yaitu qiyas, walaupun nama
agama itu masih dengan nama Islam sebagai agama para Nabi Allah. Ini berarti
sejarah panjang pergolakan antara superioritas (kesombongan) akal pikiran dan
perasaan di satu pihak melawan agama para Nabi Allah di pihak lain. Sejarah
inipun masih dilanjutkan sampai hari ini dan terus berkecamuk sampai hari
kiamat nanti.
Sejarah
Penyimpangan
Untuk kita mengerti apa sebab pergolakan
atau pertentangan antara filsafat dengan Islam, kita harus menelusuri sejarah
penyimpangan umat manusia dari agama para Nabi Allah. Hal ini amat penting
diketahui agar kita dapat mengambil pelajaran untuk terhindar dari berbagai
sebab yang menjerumuskan umat manusia kepada berbagai penyimpangan dari agama
para Nabi itu. Allah subhanahu wa ta'ala
memberitakan sejarah penyimpangan tersebut dalam firman-Nya dalam Al Qur’an
surat Al Baqarah 213 :
“Manusia
itu dulunya adalah umat yang satu. Setelah timbul perselisihan, maka Allah
mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan
Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan di
antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih
tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab,
yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena
dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang
beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan
kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya
kepada jalan yang lurus.”
Diriwayatkan oleh Imam Ath Thabari
dalam tafsir beliau terhadap ayat ini dengan sanadnya, bahwa Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma menerangkan tafsir
ayat ini sebagai berikut : “Antara Nabi Nuh dan Adam ada sepuluh generasi,
mereka semua berada di atas syariat yang benar. Kemudian mereka pun berselisih,
sehingga Allah mengutus para Nabi-Nya sebagai pemberi kabar gembira dan
peringatan.” (Tafsir Ath Thabari jilid 2 hal. 347)
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menyatakan tentang sanad Tafsir Ibnu Abbas ini lebih
shahih sanad dan maknanya, karena dahulu manusia itu di atas agama Nabi Adam,
akhirnya setelah itu mereka menyembah berhala sehingga Allah mengutus kepada
mereka Nabi Nuh alaihis salam sebagai
Rasul pertama yang diutus Allah kepada penduduk bumi.” (Tafsir Ibnu Katsir
jilid 1 hal. 250)
Syaikh Al ‘Allamah Al Muhadits Muqbil
bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah
manshahihkan sanad riwayat Tafsir Ibnu Abbas tersebut. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dengan takhrij Syaikh
Muqbil jilid 1 halaman 461, terbitan Darur Rayah, Riyadl, Arab Saudi, cet. 1
tahun 1414 H/1993)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa
anak Adam sepeninggal beliau istiqamah di atas agama tauhid dan tidak
mencampurkannya dengan bid’ah dan syirik dalam masa sepuluh generasi yang waktu
itu usia mereka masing-masing berkisar sekitar seribu tahun. Masa sepuluh
generasi itu berarti beribu-ribu tahun (Lihat Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir juz. 1 hal. 94, Darul Kutub Al
Ilmiyah, Beirut, Libanon, tanpa tahun).
Adapun awal penyimpangan Bani Adam dari
tauhid kepada syirik dan dari sunnah kepada bid’ah, sehingga Allah mengutus
Nabi Nuh alaihis salam untuk
memanggil umat manusia agar kembali kepada tauhid dan melarang mereka dari
perbuatan syirik, ialah sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma tentang nama-nama berhala terkenal di kalangan
Nabi Nuh yaitu Waddan, Suwa’an, Yaghutsa, Ya’uqa, dan Nasra. Beliau menerangkan
: “Nama-nama ini adalah nama dari beberapa orang shalih dari kaum Nabi Nuh,
ketika mereka meninggal dunia, setan memunculkan ide di kalangan kaum
orang-orang shalih itu agar mereka membuat patung peringatan yang dipancangkan
di majelis-majelis mereka tempat dahulunya orang-orang shalih itu duduk dan
agar memberi nama patung-patung itu dengan nama-nama mereka. Kaum yang
ditinggal mati oleh orang-orang shalih tersebut merealisir ide yang diilhamkan
oleh setan itu. Patung-patung tersebut ketika itu belum disembah oleh mereka.
Ketika generasi pertama kali yang membikin patung itu meninggal dunia dan ilmu
agama telah dilupakan umat, akhirnya patung-patung tersebut disembah.” (HR.
Bukhari dalam shahihnya, Fathul Bari’
jilid 8 halaman 667)
Demikianlah perjalanan sejarah
penyimpangan umat manusia, berproses dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ini adalah proses dominasi akal pikiran dan perasaan manusia dalam memandang
nilai-nilai kehidupan mereka dengan sedikit menggeser kedudukan agama Allah
yang telah diajarkan oleh para Nabi-Nya dan proses itu akhirnya menjadi upaya
menyingkirkan sama sekali agama Allah dari kehidupan manusia dan munculnya
agama baru yang bersumber dari akal dan perasaan semata.
Imam Muhammad bin Sirin (salah seorang
Imam dari kalangan tabi’ien) menerangkan sebab penyimpangan umat manusia dari
agama Allah :
Qiyas itu ialah sial dan pihak peertama
yang menggunakan qiyas adalah iblis sehingga dia binasa. Dan sesungguhnya
matahari dan bulan itu disembah hanyalah dengan sabab berbagai qiyas.
Demikian Ibnu Sina menyatakan dan
diriwayatkan pernyataan ini oleh Imam At Thahawi dengan sanadnya yang dinukil
secara lengkap oleh Ibnu Qayim Al Jauziyah dalam I’lamul Muwaqi’in jilid 1 halaman 254.
Pengertian qiyas dalam bahasa Arab
ialah “ukuran sesuatu” . Sedangkan menurut pengertian ahli ushul fikih ialah
“memahami sesuatu yang riil dengan sesuatu realitas lainnya untuk menetapkan
hukum bagi keduanya atau menafikkannya karena adanya segi kesamaan pada
keduanya dalam perkara hukum atau sifat.” (Lihat Irsyadul Fuhul, As Syaukani hal. 173, 174, Idaratut Thiba’ah Al Muniriyah, Mesir, tanpa tahun).
Qiyas yang tercela sebagaimana dicela
oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Qutaibah yang telah membinasakan iblis dan kemudian
orang-orang yang pertama yang menyimpang dari tauhid kepada syirik sehinggga
disembahnya patung-patung dan matahari dan bulan, ialah qiyas yang murni produk
akal pikiran dan perasaan yang mengabaikan bahkan menolak dalil-dalil Al Qur’an
dan Al Hadits. Iblis menggunaklan qiyas dalam menilai kedudukan dirinya yang
diciptakan dari api dan Adam yang diciptakan dari tanah liat yang kemudian dia
menganggap bahwa api lebih mulia dari tanah liat, sehingga dia dengan qiyas
seperti itu mengabaikan bahkan menolak perintah Allah kepadanya untuk bersujud
kepada Adam. Dengan itu binasalah Iblis. Demikian pula kaum Nabi Nuh alaihis salam yang mengqiyaskan
patung-patung yang mereka buat dengan orang-orang shalih yang telah meninggal.
Sehingga mereka menganggap bahwa menghormati patung-patung itu berarti
menghormati orang-orang shalih tersebut. Berdoa kepada patung-patung itu
dianggap sama dengan meminta doa dari orang-orang shalih tersebut ketika mereka
masih hidup agar mereka berdoa kepada Allah memintakan apa yang mereka minta.
Sehingga dengan qiyas demikian ini jadilah mereka penyembah patung-patung
tersebut.
Demikian pula dalam perkara halal dan
haram, metode qiyas bisa menyebabkan orang menghalalkan perkara yang diharamkan
Allah dan mengharamkan perkara yang dihalalkan-Nya. Inilah sebabnya Ibnu Qayim
Al Jauziyah merinci orang-orang yang menentang wahyu Allah dengan pikiran
mereka itu sebagai berikut :
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang wahyu dengan
pikirannya ada lima golongan :
1.
Golongan yang menentang wahyu dengan akal mereka dalam
menyikapi berita-berita dari langit, dalam perkara ini mereka lebih
mendahulukan penilaian akal dan mereka mengatakan kepada orang-orang yang
beriman kepada wahyu Allah : ‘Kami mempunyai dalil aqli sedangkan kalian
memiliki dalil naqli.’
2.
Golongan yang menentang wahyu dengan pikiran dan qiyas
mereka, mereka berkata kepada Ahlil Hadits : ‘Kalian memiliki hadits,
sedangakan kami memilikii ra’yu
(rasio) dan qiyas.’
3.
Golongan yang menentang wahyu dengan mencari hakekat segala
sesuatu menurut pandangan dan perasaan mereka. Mereka menyatakan (kepada Ahlus
Sunnah, pent.) : ‘Kalian mempunyai syariat, sedangkan kami memiliki ilmu
hakikat.’
4.
Golongan yang menentang wahyu dengan ambisi politik dan
kepemimpinan. Mereka menyatakan (kepada Ahlus Sunnah, pent.) : ‘Kalian ahli
syariah, sedangakan kami ahli politik.’
5.
golongan yang menentang wahyu dengan penafsiran ala
kebatinan. Mereka menyatakan (kepada Ahlus Sunnah, pent.) : ‘Kalian orang-orang
yang terpaku dengan perkara dhahir, sedangkan kami adalah orang-orang yang
mendalami perkara batin.’
Semua golongan ini tidak mempunyai
patokan yang kongkrit dalam pemahamannya masing-masing, bahkan mereka hanya
mengikuti hawa nafsu dalam memahami sesuatu.”
Demikian Ibnu Qayim menerangkan dalam
kitab beliau As Shawa’iqul Mursalah
jilid 3 halaman 1051, tahqiq DR. Ali bin Muhammad Ad Dakhilullah, diterbitkan
oleh Darul Ashimah, Riyadh, Arab Saudi, cet. 2, tahun 1412 H.
Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah (th. 213-376 H) dalam kitab beliau Ta’wil Mukhtalafil Hadits hal. 56-57
membawakan ucapan Imam As Sya’bi (Imam dari kalangan Tabi’it Tabi’in) dengan
sanadnya, bahwa Malik bin Maghul menyatakan : “Berkata kepadaku As Sya’bi --dan
beliau sambil melihat kepada Ashabur Ra’yi (orang-orang yang mengutamakan akal,
pent.)-- apabila mereka (ashabur ra’yi)
itu membawakan perkataan para shahabat Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka terimalah dan kalau mereka
mengkabarkan kepadamu dari pikiran mereka, maka lemparkanlah perkataan itu ke
lubang WC.” As Sya’bi menegaskan pula : “Hati-hatilah kalian dari qiyas karena
bila kalian mengambilnya sebagai patokan hukum , kalian akan mengharamkan yang
halal dan menghalalkan yang haram.” Demikianlah Ibnu Qutaibah menukilkan.
Demikian
pula sesungguhnya sejarah penyimpangan umat manusia pada umumnya dan kaum
Muslimin pada khususnya, yaitu mereka mulai menggungkan akal pikiran dan
perasaan lebih dari keagungan agama Allah. Dan dari sini pula dimulai sejarah
filsafat yang dibangun di atas qiyas dengan akal dan perasaan sebagai
perangkatnya, yang kemudian melawan agama Allah yang diturunkan oleh Allah
dalam bentuk wahyu kepada para Nabi-Nya yang membimbing akal dan perasaan untuk
tunduk kepada agama ini.
Definisi
Filsafat dan Sejarahnya
Ahlus Sunnah wal Jamaah selalu bersikap
adil walaupun terhadap musuhnya. Salah satu sikap adil yang ada pada mereka
ialah tidak menghukumi satu permasalahan kecuali dengan data dan hujjah. Data
yang dimaksud di sini ialah bukti-bukti lahir dan berita yang shadiq (jujur), atau tsiqah (terpecaya). Atas dasar data
inilah kemudian diadakan penilaian dengan hujah (dalil Al Qur’an dan Al
Hadits). Dalam rangka mengikuti jejak Ahlus Sunnah Wal Jamaah ini kita perlu
tahu apa itu filsafat menurut para ahli filsafat dan juga menurut Ulama Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Dan untuk melengkapi data tersebut harus pula kita ketahui
sejarah filsafat ini.
Dalam hal definisi filsafat, Ibnu Qayim
rahimahullah menerangkan : “Makna
filsafat itu ialah kecintaan kepada hikmah dan filosof arti asalnya ialah
pecinta hikmah, berasal dari kata fila artinya pecinta. Dan kata sofa artinya
hikmah.” (Ighatsatul Lahafa Ibnu Qayim, jilid 2 hal. 668)
Selanjutnya beliau menerangkan :
“Sesungguhnya kaum filosof itu secara tematik artinya ialah siapa saja yang
mencintai hikmah dan lebih mengutamakannya. Dan akhirnya jadilah ia dalam
pengertian orang banyak sebagai nama yang khusus bagi siapa saja yang keluar
dari agama para Nabi dan tidak berpendapat kecuali dengan segala sesuatu yang
mencocoki akal pikiran mereka. Dan lebih khusus lagi dari pengertian ini ialah
sebagaimana menurut pengertian orang-orang belakangan bahwa kaum filosof itu
ialah para pengikut pemahaman Aristoteles, khususnya para pengikut teori
evolusi. Yaitu aliran yang telah disajikan pemahamannya dengan ringkas dan
jelas oleh Ibnu Sina dan dibela dengan kuat olehnya. Dan pemahaman inilah yang
dikenal oleh para ahli ilmu kalam belakangan dan tidak dikenal pemahaman ini
selain oleh mereka. Mereka ini adalah aliran yang ganjil di kalangan berbagai
alian filsafat, teori-teori mereka asing di hadapan berbagai teori kaum filosof
yang lainnya, sehingga dikatakan bahwasannya tidak ada dari kalangan filosof
yang berpendapat bahwa berbagai planet ini tidak berpemulaan (yakni tidak ada
yang menciptakan, pent.) kecuali Aristoteles dan para pengikutnya, dan dia
adalah sebagaimana diketahui adalah orang yang pertama kali berpendapat bahwa
alam ini tidak berpemulaan. Sedangkan tokoh-tokoh filsafat sebelumnya
berpendapat bahwa alam ini berpemulaan (yakni asalanya tidak ada kemudian ada,
pent.). Mereka juga meyakini adanya pencipta yang berbeda dari alam ini dan pencipta
itu berada di atas alam ini dan di atas langit dengan Dzat-Nya, sebagaimana hal
ini diceritakan oleh orang-orang yang paling tahu berbagai teori kaum filosof
di jamannya ialah Abdul Wahid bin Rusydin dalam kitabnya Manahijul Adillah.” Kemudian Ibnu Qayim rahimahullah menerangkan lebih lanjut tentang siapa Aristoteles ini
:
“Dia adalah seorang musyrik penyembah
berhala dan berbagai teorinya tentang ketuhanan salah semua dari awal sampai
akhirnya. Sesungguhnya segenap teorinya ini telah dibantah oleh berbagai
kelompok yang ada di kalangan kaum Muslimin, bahkan Jahmiyah, Mu’tazilah,
Qadariyah, Rafidlah dan filosof Islam mengingkari berbagai teori Aristoteles
tersebut dan memang teorinya tentang ketuhanan menggelikan orang-orang yang
berakal. Ia mengingkari keyakinan bahwa Allah mengetahui segala yang ada dan
dia meyakini demikian beralasan dengan pemahamannya bahwa Allah mengetahui
sesuatu berarti Dia sempurna dengan pengetahuan-Nya dan tidak sempurna pada
Dzat-Nya dan berarti pula Dia akan ditimpa capek dan penat dalam mencapai
berbagai pengetahuan itu. Demikianlah ujung pemikiran penggagas dan guru besar
teori ini. Hal ini telah diceritakan oleh Abdul Barkat dan beliau telah dengan
kuat membantah dan menggugurkan berbagai argumentasi Aristo ini. Maka sesungguhnya
hakikat yang diyakini oleh penggagas pemikiran ini dan para pengikutnya ialah :
Kufur (pengingkaran) kepada Allah Ta’ala, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, Rasul-Nya
dan hari akhirat. Dan para pengikutnya dari kalangan atheis menempuh jalan
pikirannya yaitu orang-orang yang berkedok sebagai pengikut Rasul.
Aristoteles adalah peletak dasar
pertama berbagai pemikiran atheisme yang datang sesudahnya. Para pengikutnya
mengagungkannya lebih daripada pengagungan yang diberikan kepada para Nabi dan
mereka berpandangan bahwa apa yang datang dari para Nabi harus diuji
kebenarannya dengan omongan Aristoteles, maka bila omongan para Nabi itu
mencocoki omongan Aristo, mereka pun menerimanya dan apa yang menyelisishi
omongannya ditolaklah omongan para Nabi tersebut. Mereka menamai Aristoteles
esbagai penggagas atau guru pertama karena dialah orang pertama yang meletakkan
teori-teori mantiq.
Aristoteles dan pengikutnya beranggapan
bahwa mantiq adalah patokan untuk menimbang benar salahnya makna-makna kalimat.
Para peneliti Islam (dari kalangan
ulamanya) telah menerangkan rusaknya mantiq ini dan bengkoknya. Juga ia dapat
merusakkan akal dan merendahkan pikiran. Para ulama yang membantah ilmu ini
telah menulis berbagai bantahan dan bukti kerusakannya dalam banyak buku. Dan orang
terakhir yang menulis buku sedemikian ini (menurut pengetahuan Ibnu Qayim,
pent.) adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau telah menulis bantahan
terhadap ilmu mantiq dalam dua kitab, yang satu besar (yaitu Dar’u Ta’arudlil Aqli wan Naqli, pent.)
dan yang satunya lagi kecil (yaitu Ar
Raddu alal Mantiqiyyin, pent.). Beliau menerangkan padanya berbagai
kontradiksi yang ada pada teori-teori mantiq dan rusaknya banyak teori-teori
ilmu ini. Juga aku (yakni Ibnu Qayim, pent.) melihat kitab bantahan terhadap
ilmu ini yang ditulis oleh Abu Said As Sirafi.
Demikian, sesungguhnya bahwa setiap
segenap kaum atheis mengembangkan pemahamannya dengan pengaruh teori-teori guru
pertama ini, sehingga berlanjutnya taqlid mereka dengan guru kedua bagi mereka,
yaitu Abu Nashr Al Farabi. Dia meletakkan bagi mereka berbagai teori tentang
suara, sebagaimana guru pertama telah meletakkan bagi mereka teori-teori
tentang huruf. Kemudian Al Farabi berbicara tentang mantiq dalam lingkup yang
lebih luas lagi, dia menguraikannya dan menjelaskan filsafat Aristoteles dan
menatanya kembali, dan dia menumpahkan segala kesungguhannya dalam misinya ini.
Dan dia menjalankan pemahaman pendahulunya (yakni Aristo, pent.) yaitu kufur
kepada Allah Ta’ala, dan Malaikat-Nya, dan Kitab-Nya, dan para Rasul-Nya, dan
hari akhirat. Sehingga dalam pandangan mereka, setiap filosof bila tidak
bersikap demikian (yakni bersikap kufur kepada Allah dan lain-lain, pent.),
berarti dia bukan filosof yang hakiki … “ Demikian Ibnu Qayim menjelaskan.
Beliau melengkapi lagi penjelasannya
sebagai berikut : “Kaum filosof itu tidak hanya ada pada satu umat tertentu,
bahkan mereka itu ada pada segenap umat. Walaupun yang paling banyak dikenal
oleh banyak orang dalam perkara filsafat ini ialah berbagai teori para filosof
Yunani. Padahal mereka ini adalah sekelompok dari berbagai kelompok filosof,
dan mereka adalah satu bangsa dari berbagai bangsa, mereka mempunyai kerajaan
dan raja-raja, dan ulama mereka ialah para filosof mereka . Termasuk raja-raja
mereka ialah Iskandar Al Maqduni, dia putra Philipus. Bukanlah ia Iskandar Dzul
Qarnain yang dikisahkan oleh Allah dalam Al Qur’an. Bahkan antara dua Iskandar
ini ada jarak masa sekian banyak abad, dan antara keduanya ada perbedaan agama
yang sangat besar. Dzul Qarnain adalah orang yang shalih muwahid (bertauhid)
kepada Allah Ta’ala, beriman kepada Allah Ta’ala dan para Malaikat-Nya,
Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan hari akhir. Beliau memerangi para
penyembah berhala dan melakukan perjalanan jihad ke timur dan barat bumi. Beliau
pula yang membanguin tembok penghalang antara tempat manusia dan tempat Ya’juj
wa Ma’juj. Adapun Iskandar Al Maqduni adalah seorang musyrik penyembah berhala
begitu pula segenap rakyatnya. Hidupnya sekitar sekitar seribu enam ratus tahun
sebelum Isa Al Masih alaihis salam
dan orang-orang Nashara memasukkan ia dalam penanggalan mereka. Dan Aristoteles
adalah menteri kabinet kerajaannya yang juga seorang musyrik penyembah berhala.
Dia pula yang menyerang Daran bin Daran raja Persia sampai ke dalam istananya
dan menghancurkan singgasananya dan mencerai-beraikannya, kemudian dia masuk
menyerang Cina dan India serta negeri Turki sambil membunuh dan merampas.
Bangsa Yunani pada masa pemerintahannya memperoleh kemegahan dan kerajaannya
dengan sebab menterinya, yaitu Aristo yang juga sebagai penasehatnya dan kepala
pemerintahan kerajaannya. Setelah Iskandar Al Maqduni ini, negara Yunani
dipimpin oleh raja-raja bergelar Batlomeos sebagaimana Persi dipimpin oleh
Kisra dan Romawi dipimpin Qaishar. Kemudian setelah itu mereka dikalahkan oleh
Romawi dan kerajaan mereka diduduki oleh Romawi sehingga bangsa Yunani menjadi
rakyat kerajaan Romawi dan hancurlah kerajaan Yunani sehingga menjadi satu
dengan kerajaan Romawi. Mereka juga tetap di atas kemusyrikan penyembahan berhala
sebagai agama negara. Pernah juga dari orang-oranga Yunani musyrikin tampil
orang yang bernama Sokrates, salah seorang murid Phitagoras. Semula dia adalah
sama dengan mereka, yaitu penyembah berhala, tapi setelah itu Sokrates
menyatakan penentangannya terhadap penyembahan berhala yang ada di kalangan
mereka. Dia menantang para tokoh mereka dengan berbagai dalil argumentasi yang
menunjukkan kebatilan penyembahan terhadap berhala. Maka bangkitlah masyarakat
menentangnya dan mereka memaksa raja untuk membunuhnya. Sehingga raja pun
memenjarakannya agar menenangkan mereka dari tantangan Sokrates. Tetapi kaum
musyrikin tidak akan puas kecuali bila raja membunuhnya. Maka raja pun karena
takut dari mereka, meminumkan racun kepada Sokrates hingga ia terbunuh setelah
terjadi berbagai perdebatan yang panjang antara dia dan kaum musyrikin itu.
Pendiriannya tentang sifat-sifat Allah mendekati pendirian kaum Mukminin yang
menetapkan adanya sifat-sifat kemuliaan itu. Dia menyatakan : ‘Sesungguhnya Ia
adalah Tuhan segala sesuatu dan Penciptanya, dan Penentunya juga. Dan Ia adalah
Dzat Yang Maha Perkasa. Dia tidak mungkin dikalahkan. Dia mempunyai sifat Hakim
dalam perbuatan-Nya dan pengaturan-Nya.’ Sokrates menyatakan pula bahwa Tuhan
itu adalah Dzat yang ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, wujud-Nya, dan hikmah-Nya tidak
terbatas yang akal tidak mungkin mampu menerangkan batas berbagai sifat
kemuliaan-Nya itu.”
Demikian Ibnul Qayim menerangkan
tentang berbagai pemahaman Sokrates. Kemudian beliau memberikan penilaian
terhadapnya sebagai berikut : “Omongannya tentang hari kebangkitan dan tentang
sifat-sifat Allah serta tentang permulaan alam ini lebih dekat kepada omongnnya
para Nabi daripada omongan para filoosof lainnya. Secara keseluruhannya,
Sokrates adalah filosof yang paling dekat kepada sikap membenarkan para Rasul,
dan karena inilah dia dibunuh oleh kaumnya.”
Di sini Ibnul Qayim menegaskan bahwa
sebelum Aristoteles, pernah muncul di kalangan Yunani tokoh filosof yang lebih
mendekati apa yang disampaikan para Nabi dan Rasul dari Allah subhanahu wa ta'ala. Ia adalah Sokrates
dan kemudian muridnya bernama Plato. Tetapi kemudian Sokrates dibunuh,
sedangkan Plato tidak seagresif gurunya dalam membantah penyembahan berhala
sehingga muncullah darinya seorang murid yang durhaka bernama Aristoteles. Ia
membantah Plato dahn Sokrates dalam banyak hal serta membela penyembahan
berhala sehingga dengan itu dia sangat diagungkan kaumnya. Sehingga yang
dikenang dari Yunani kuno adalah warisan agama Aristoteles, sedangkan pemahaman
Sokrates dan Plato larut dalam kuatnya arus pengaruh Aristoteles yang
mendominasi filsafat Yunani dan para filosofnya. Inilah sesungguhnya dasar
filsafat Barat yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh kaum
Muslimin sehingga membangkitkan semangat ahlul bid’ah di kalangan Muslimin
untuk menyerang aqidah Islamiyah khususnya dan menyerang pemahaman Salafus
Shalih terhadap Al Qur’an dan Al Hadits, bahkan berusaha pula untuk meruntuhkan
keduanya secara keseluruhan dari keimanan kaum Muslimin kepada keduanya.
Disebutkan oleh Dr. Muhammad Al Bahiy
dalam kitabnya Al Janibul Ilahi minat
Tafkir Al Islami halaman 189 (terbitan Maktabah Wahdah, tanpa tahun) bahwa
kaum Muslimin mulai menerjemahkan buku-buku filsafat Grik ke dalam bahasa Arab
pada masa pemerintahan khalifah kedua Abbasiyah yakni Abu Ja’far Al Manshur
pada tahun 132 H/749 M. setelah itu berbagai buku filsafat dari berbagai bangsa
juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sehingga kaum Muslimin diserang dari
berbagai penjuru oleh berbagai pemahaman filsafat tersebut. Sehinggga Ghazwul
Fikri (perang pemikiran) semakin dahsyat dilancarkan terhadap kaum Muslimin.
Akibatnya muncullah dari kalangan anak-anak Muslimin, orang-orang yang berani
terang-terangan melecehkan Al Qur’an dan Al Hadits dengan penafsiran bathil
yang membawa kepada kekafiran. Sehingga muncullah di kalangan umat Islam,
orang-orang zindiq semacam Al Farabi yang menyatakan keyakinannya bahwa alamn
raya ini adalah sesuatu yang tidak berpemulaan dan tidak hancur. Ia (alam)
menciptakan dirinya sendiri dan tidak ada yang menciptakannya. Demikian pula
Ibnu Sina yang lebih banyak lagi karya tulisnya dalam mempertahankan berbagai
prinsip-prinsip Al Farabi.
Kemudian setelah itu Ibnu Arabi yang
lebih banyak lagi karya tulisnya dalam menyatakan kekafiran dirinya kepada
Allah subhanahu wa ta'ala dan kepada
adanya hari kiamat. Dan terus bermunculan para tokoh filsafat dari kalangan
umat Islam, yang kemudian menjadi pemicu terjadinya pertempuran yang dahsyat
antara para pentolan filsafat di satu pihak, melawan para ulama Ahlul Hadits di
pihak lain.
Demikianlah
definisi dan sejarah filsafat yang cukup menggambarkan kepada kita betapa
kerasnya pertentangan antara filsafat dengan agama Allah yang dibawa oleh para
Nabi-Nya. Ini menunjukkan betapa kerusakan yang ditimbulkan oleh filsafat dalam
keyakinan kaum Muslimin terhadap agamanya.
Peringatan Para
Ulama
Menyadari betapa besar kerusakan yang
ditimbulkan filsafat terhadap pemahaman kaum Muslimin terhadap agamanya, maka
para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dulu dan sekarang tiada henti-hentinya
memperingatkan umat Islam dari bahaya filsafat. Ilmu-ilmu filsafat dikembangkan
dalam bentuk-bentuk baru seperti ilmu kalam, ilmu mantiq, ilmu falaq, dan
lain-lain. Ini adalah dalam rangka mengelabuhi umat Islam dari pertentangan filsafat
dengan Islam sehingga menyeret umat Islam keluar dari agamanya tanpa terasa.
Dalam hal ini Al Hafidh Jamaluddin Abil Faraj Abdurrahman Ibnul Jauzi Al
Baghdadi rahimahullah (meninggal
tahun 597 Hijriah), beliau menerangkan dalam kitab karyanya berjudul Talbis
Iblis halaman 82 (cet. Maktabah An Nahdlah, tahun 1928 M) : “Sesungguhnya iblis
apabila telah berhasil menyesatkan orang-orang bodoh dengan menjerumuskan
mereka ke dalam sikap taqlid (yakni mengikuti tanpa mengerti, pent.) dan
menggiring mereka seperti menggiring binatang ternak. Iblis pun kemudian
melirik golongan lain dari Bani Adam yang mereka ini mempunyai kecerdasan dan
kepandaian. Maka mereka pun disesatkan sesuai dengan kadar kemampuannya
menguasai mereka. Maka sebagian dari mereka digiring kepada kesan betapa
jeleknya kejumudan dalam bertaqlid dan dianjurkan setelah itu untuk memahami
agama dengan akal pikirannya sendiri dan kemudian setiap dari mereka disesatkan
dengan berbagai cara. Sebagian mereka disesatkan dengan satu kesan, bahwa terpaku
dengan pengerian dhahir syariat adalah kelemahan, sehingga mereka digiring
kepada salah satu dari madzhab-madzhab filsafat. Dan terus mereka berkembang
dalam madzhab filsafat itu dalam memahami makna batin syariah, sehingga
filsafat itu mengeluarkan mereka dari Islam.
Selanjutnya Ibnul Jauzi menegaskan :
“Dari mereka ini ada pula yang disesatkan oleh iblis dengan digiring kepada
kesan baiknya prinsip tidak mempercayai adanya sesuatu kecuali kalau sesuatu
itu bisa dirasakan keberadaannya oleh panca indera. Dikatakan kepada mereka :
Dengan panca indera, kalian bisa mengetahui bukti kebenaran omongan kalian.”
Kemudian beliau menambahkan : “Dan
sebagian mereka (orang-orang yang cerdas dan pandai) itu ada yang ditanamkan
rasa benci oleh iblis terhadap taqlid dan sebagai gantinya ditanamkan semangat
mendalami ilmu kalam dan meneladani sepak terjang kaum filosof, agar dengan
cara demikian mereka bisa keluar dari lingkup orang awam. Demikianlah anggapan
mereka. Padahal sesungguhnya beraneka ragam kesesatan para ahli ilmu kalam yang
dengan ilmu kalam itu telah menjerumuskan mayoritas mereka kepada berbagai
keraguan dan bahkan sebagian mereka telah terjerumus ke dalam atheisme.
Dan para ulama ahli fikih terdahulu
dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka diam, tidak mau bicara tentang
ilmu kalam, bukannya karena mereka tidak mampu untuk berbicara tentang hal
tersebut, tetapi karena semata-mata karena mereka melihat bahwa ilmu kalam ini
tidak akan menghilangkan dahaga orang yang haus dan kemudian orang yang sehat
dengan ilmu ini tidak bisa menolak penyakit. Oleh karena itu mereka para ulama
menahan diri untuk berbicara tentang ilmu ini dan mereka melarang umat untuk
mendalami ilmu ini. Sehingga Al Imam Syafi’i mengatakan : ‘Sungguh seandainya
seorang hamba Allah terjatuh pada segenap apa yang dilarang oleh Allah selain
syirik, lebih baik baginya daripada mempelajari ilmu kalam.’ Beliau (Imam
Syafi’i) menyatakan pula : ‘Apabila engkau mendengar ada seseorang
memperdebatkan tentang apakah nama Allah itu menunjukkan sifatnya atau tidak
menunjukkannya, maka persaksikanlah bahwa orang yang berbicara demikian ini
tidak ada agamanya.’ Juga beliau menyatakan : ‘Hukuman terhadap ulama ilmu
kalam ialah mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian dikelilingkan
di berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan mereka : Inilah
balasan bagi orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan terjun dalam
ilmu kalam.’
Berkata Al Imam Ahmad bin Hambal :
‘Tidak akan selamat selamanya orang yang berpegang dengan ilmu kalam. Ulama
ilmu kalam itu adalah para zindiq (yakni orang-orang yang menyembunyikan di
hatinya kekafiran, tetapi menampakkan keimanan).’ ” Demikianlah Ibnul Jauzi
membawakan keterangan dan menukil perkataan ulama Ahlus Sunnah tentang
kedudukan ilmu kalam dan jahatnya ulama ilmu kalam. Padahal ilmu kalam hanyalah
sebagian dari ilmu-ilmu filsafat.
Masih terlalu banyak peringatan dan
nasehat para ulama tentang bahaya ilmu-ilmu filsafat. Seandainya tidaklah
karena keterbatasan halaman di majalah ini, kita akan bawakan
sebanyak-banyaknya berbagai nasehat para ulama tersebut. Tetapi sedikit
keterangan yang kami bawakan ini kiranya cukup menjadi peringatan bagi pembaca
tentang bahaya ilmu-ilmu filsafat terhadap iman kita kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Penutup
Demikianlah
serunya pergolakan antara filsafat dengan Islam dan pergolakan ini terus
berlangsung sampai hari ini, bahkan sampai hari kiamat. Ketika orang
bersemangat dengan ilmu Al Qur’an dan Al Hadits maka filsafat akan terabaikan.
Sebaliknya bila orang mulai mengabaikan ilmu Al Qur’an dan Al Hadits, maka
mereka pun berkecenderungan kuat terhadap filsafat. Oleh karena itu untuk
mengantisipasi berbagai kerusakan filsafat, umat Islam harus dibangkitkan
semangat mereka mencintai dan mempelajari ilmu Al Qur’an dan Al Hadits agar
mengerti Al Haq dan Al Bathil dari sumber yang haq dan pasti. Dengan begitu
mereka dapat menolak kebingungan dan kerancuan filsafat.
Daftar
Kepustakaan
1.
Al Qur’anul Karim dan terjemahannya, Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, Departemen Agama RI, terbitan
Mujamma Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fahdi li Thiba’at Al Mushaf
Asy Syarif, Saudi Arabia.
2.
Tafsir Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath
Thabari (meninggal tahun 310 H), Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Libanon, cet.
Pertama tahun 1412 H/1992 M.
3.
Tafsir Ibnu Katsir, Al Hafidh Imaduddin Abul Fida’ Ismail
bin Katsir Al Qurasyi Ad Dimasqiy (meninggal tahun 774 H), Matba’ah Musthafa
Muhammad Al Maktabah At Tijariyah, Mesir, cetakan Tahun 1356 H/1937 M.
4.
Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, Al Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al
Atsqalani (meninggal tahun 852 H), Al Maktabah As Salafiyah, tanpa tahun.
5.
Ta’wilu Mukhtalafil Hadits, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin
Qutaibah (meninggal tahun 376 H), Darul Kutub Al Ilmiyah, tanpa tahun.
6.
Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, Darul Kutub Al Ilmiyah,
tanpa tahun.
7.
I’lamul Muwaqi’in, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin
Abi Bakar Ibnu Qayim Al Jauziyah (meninggal tahun 751 H), Darul Fikr, Beirut,
Libanon, cetakan kedua tahun 1397 H/1977 M.
8.
Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min
Ilmil Ushul, Muhammad bin
Ali bin Muhammad Asy Syaukani meninggal tahun 1255 H), Idaratut Thiba’ah Al
Muniriyah, Mesir, tanpa tahun.
9.
As Shawaiqul Mursalah, Ibnul Qayim Al Jauziyah, tahqiq Dr.
Ali bin Muhammad Ad Dakhilullah, Darul Ashimah, Riyadh, Saudi Arabia, cet. 2,
tahun 1412 H.
10. Ighatsatul Lahafan fi Mushaidis Syaithan, Ibnu Qayim AL Jauziyah, dengan tahqiq
Basyir Muhammad Uyun, Maktabah Al Mu’ayyad, Riyadh, Saudi Arabia, cet. pertama,
tahun 1414 H/1993 M.
11. Al Janibul Ilahi minat Tafkir Al Islamy, Dr. Muhammad Al Bahiy, Maktabah
Wahdah, tanpa tahun.
12. Talbis Iblis, Al Hafidh Jamaluddin Abul Faraj Abdurrahman Ibnul Jauzi Al
Baghdadi (meninggal tahun 597 H), Maktabah Al Nahdlah, tahun 1928 H.
13. Kamus Filsafat, Lorens Bagus, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 1996,
edisi pertama.