PEMIKIRAN

Saturday, 23 February 2013


PERGOLAKAN FILSAFAT VS ISLAM

Pendahuluan
Judul di atas hendak memberitakan pertentangan yang seru antara Islam sebagai agama yang datang dari Allah dengan filsafat sebagai agama yang datang dari pendewaan akal. Ringkasnya ialah agama akal dengan agama Allah. Pertentangan ini berlangsung sejak jaman manusia merasa tidak terikat lagi dengan agama Allah yang dibawa oleh para Nabi-Nya dan merasa yakin akal dan perasaannya mampu menggantikan kedudukan agama Allah dalam membimbing kehidupan manusia di dunia ini. Kecenderungan demikian ini mulai tumbuh setelah agama Allah yang diajarkan oleh para Nabi itu, sepeninggal mereka, dirasuki oleh berbagai bid’ah dan khurafat (yakni berbagai kepercayaan yang dusta diatasnamakan agama para Nabi itu) sehingga akal yang sehat cenderung menolak agama yang diliputi oleh berbagai bid’ah dan khurafat itu. Demikianlah proses lahirnya generasi yang terjebak dalam kubangan syahwat sebagaimana diberitakan oleh Allah dalam firman-Nya di surat Maryam 59-60, setelah membeberkan Nabi-Nabi besar, kemudian :
“Maka datanglah sepeninggal mereka generasi yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya. Maka mereka kelak akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih. Maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.” (Maryam : 59-60)
Al Imam Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (213-376 H) rahimahullah dalam kitab beliau Ta’wilu Mukhtalafil Hadits halaman 53 membawakan perkataan Ibnu Rahuyah rahimahullah tentang orang-orang Ashabur Ra’yi (yaitu orang yang cenderung merujuk kepada akal pikiran dan perasaan dalam memahami Islam), beliau menyatakan : “Mereka ini mencampakkan Kitabullah (yakni Al Qur’an) dan sunnah-sunnah (ajaran) Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan mereka menancapkan qiyas dalam memahami Islam”. Demikianlah Ibnu Qutaibah menukilkan perkataan salah seorang Imam Ahlul Hadits tentang Ashabur Ra’yi yang kiranya bisa membantu kita memahami betapa bahayanya merujuk kepada akal pikiran dan perasaan dalam memahami agama yang berakibat menyingkirkan agama itu sendiri dan kemudian meletakkan dasar agama baru yaitu qiyas, walaupun nama agama itu masih dengan nama Islam sebagai agama para Nabi Allah. Ini berarti sejarah panjang pergolakan antara superioritas (kesombongan) akal pikiran dan perasaan di satu pihak melawan agama para Nabi Allah di pihak lain. Sejarah inipun masih dilanjutkan sampai hari ini dan terus berkecamuk sampai hari kiamat nanti.

Sejarah Penyimpangan

Untuk kita mengerti apa sebab pergolakan atau pertentangan antara filsafat dengan Islam, kita harus menelusuri sejarah penyimpangan umat manusia dari agama para Nabi Allah. Hal ini amat penting diketahui agar kita dapat mengambil pelajaran untuk terhindar dari berbagai sebab yang menjerumuskan umat manusia kepada berbagai penyimpangan dari agama para Nabi itu. Allah subhanahu wa ta'ala memberitakan sejarah penyimpangan tersebut dalam firman-Nya dalam Al Qur’an surat Al Baqarah 213 :
“Manusia itu dulunya adalah umat yang satu. Setelah timbul perselisihan, maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
Diriwayatkan oleh Imam Ath Thabari dalam tafsir beliau terhadap ayat ini dengan sanadnya, bahwa Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma menerangkan tafsir ayat ini sebagai berikut : “Antara Nabi Nuh dan Adam ada sepuluh generasi, mereka semua berada di atas syariat yang benar. Kemudian mereka pun berselisih, sehingga Allah mengutus para Nabi-Nya sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.” (Tafsir Ath Thabari jilid 2 hal. 347)
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya menyatakan tentang sanad Tafsir Ibnu Abbas ini lebih shahih sanad dan maknanya, karena dahulu manusia itu di atas agama Nabi Adam, akhirnya setelah itu mereka menyembah berhala sehingga Allah mengutus kepada mereka Nabi Nuh alaihis salam sebagai Rasul pertama yang diutus Allah kepada penduduk bumi.” (Tafsir Ibnu Katsir jilid 1 hal. 250)
Syaikh Al ‘Allamah Al Muhadits Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah manshahihkan sanad riwayat Tafsir Ibnu Abbas tersebut. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dengan takhrij Syaikh Muqbil jilid 1 halaman 461, terbitan Darur Rayah, Riyadl, Arab Saudi, cet. 1 tahun 1414 H/1993)
Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa anak Adam sepeninggal beliau istiqamah di atas agama tauhid dan tidak mencampurkannya dengan bid’ah dan syirik dalam masa sepuluh generasi yang waktu itu usia mereka masing-masing berkisar sekitar seribu tahun. Masa sepuluh generasi itu berarti beribu-ribu tahun (Lihat Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir juz. 1 hal. 94, Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Libanon, tanpa tahun).
Adapun awal penyimpangan Bani Adam dari tauhid kepada syirik dan dari sunnah kepada bid’ah, sehingga Allah mengutus Nabi Nuh alaihis salam untuk memanggil umat manusia agar kembali kepada tauhid dan melarang mereka dari perbuatan syirik, ialah sebagaimana diterangkan Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma tentang nama-nama berhala terkenal di kalangan Nabi Nuh yaitu Waddan, Suwa’an, Yaghutsa, Ya’uqa, dan Nasra. Beliau menerangkan : “Nama-nama ini adalah nama dari beberapa orang shalih dari kaum Nabi Nuh, ketika mereka meninggal dunia, setan memunculkan ide di kalangan kaum orang-orang shalih itu agar mereka membuat patung peringatan yang dipancangkan di majelis-majelis mereka tempat dahulunya orang-orang shalih itu duduk dan agar memberi nama patung-patung itu dengan nama-nama mereka. Kaum yang ditinggal mati oleh orang-orang shalih tersebut merealisir ide yang diilhamkan oleh setan itu. Patung-patung tersebut ketika itu belum disembah oleh mereka. Ketika generasi pertama kali yang membikin patung itu meninggal dunia dan ilmu agama telah dilupakan umat, akhirnya patung-patung tersebut disembah.” (HR. Bukhari dalam shahihnya, Fathul Bari’ jilid 8 halaman 667)
Demikianlah perjalanan sejarah penyimpangan umat manusia, berproses dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini adalah proses dominasi akal pikiran dan perasaan manusia dalam memandang nilai-nilai kehidupan mereka dengan sedikit menggeser kedudukan agama Allah yang telah diajarkan oleh para Nabi-Nya dan proses itu akhirnya menjadi upaya menyingkirkan sama sekali agama Allah dari kehidupan manusia dan munculnya agama baru yang bersumber dari akal dan perasaan semata.
Imam Muhammad bin Sirin (salah seorang Imam dari kalangan tabi’ien) menerangkan sebab penyimpangan umat manusia dari agama Allah :
Qiyas itu ialah sial dan pihak peertama yang menggunakan qiyas adalah iblis sehingga dia binasa. Dan sesungguhnya matahari dan bulan itu disembah hanyalah dengan sabab berbagai qiyas.
Demikian Ibnu Sina menyatakan dan diriwayatkan pernyataan ini oleh Imam At Thahawi dengan sanadnya yang dinukil secara lengkap oleh Ibnu Qayim Al Jauziyah dalam I’lamul Muwaqi’in jilid 1 halaman 254.
Pengertian qiyas dalam bahasa Arab ialah “ukuran sesuatu” . Sedangkan menurut pengertian ahli ushul fikih ialah “memahami sesuatu yang riil dengan sesuatu realitas lainnya untuk menetapkan hukum bagi keduanya atau menafikkannya karena adanya segi kesamaan pada keduanya dalam perkara hukum atau sifat.” (Lihat Irsyadul Fuhul, As Syaukani hal. 173, 174, Idaratut Thiba’ah Al Muniriyah, Mesir, tanpa tahun).
Qiyas yang tercela sebagaimana dicela oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Qutaibah yang telah membinasakan iblis dan kemudian orang-orang yang pertama yang menyimpang dari tauhid kepada syirik sehinggga disembahnya patung-patung dan matahari dan bulan, ialah qiyas yang murni produk akal pikiran dan perasaan yang mengabaikan bahkan menolak dalil-dalil Al Qur’an dan Al Hadits. Iblis menggunaklan qiyas dalam menilai kedudukan dirinya yang diciptakan dari api dan Adam yang diciptakan dari tanah liat yang kemudian dia menganggap bahwa api lebih mulia dari tanah liat, sehingga dia dengan qiyas seperti itu mengabaikan bahkan menolak perintah Allah kepadanya untuk bersujud kepada Adam. Dengan itu binasalah Iblis. Demikian pula kaum Nabi Nuh alaihis salam yang mengqiyaskan patung-patung yang mereka buat dengan orang-orang shalih yang telah meninggal. Sehingga mereka menganggap bahwa menghormati patung-patung itu berarti menghormati orang-orang shalih tersebut. Berdoa kepada patung-patung itu dianggap sama dengan meminta doa dari orang-orang shalih tersebut ketika mereka masih hidup agar mereka berdoa kepada Allah memintakan apa yang mereka minta. Sehingga dengan qiyas demikian ini jadilah mereka penyembah patung-patung tersebut.
Demikian pula dalam perkara halal dan haram, metode qiyas bisa menyebabkan orang menghalalkan perkara yang diharamkan Allah dan mengharamkan perkara yang dihalalkan-Nya. Inilah sebabnya Ibnu Qayim Al Jauziyah merinci orang-orang yang menentang wahyu Allah dengan pikiran mereka itu sebagai berikut :
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang wahyu dengan pikirannya ada lima golongan :
1.      Golongan yang menentang wahyu dengan akal mereka dalam menyikapi berita-berita dari langit, dalam perkara ini mereka lebih mendahulukan penilaian akal dan mereka mengatakan kepada orang-orang yang beriman kepada wahyu Allah : ‘Kami mempunyai dalil aqli sedangkan kalian memiliki dalil naqli.’
2.      Golongan yang menentang wahyu dengan pikiran dan qiyas mereka, mereka berkata kepada Ahlil Hadits : ‘Kalian memiliki hadits, sedangakan kami memilikii ra’yu (rasio) dan qiyas.’
3.      Golongan yang menentang wahyu dengan mencari hakekat segala sesuatu menurut pandangan dan perasaan mereka. Mereka menyatakan (kepada Ahlus Sunnah, pent.) : ‘Kalian mempunyai syariat, sedangkan kami memiliki ilmu hakikat.’
4.      Golongan yang menentang wahyu dengan ambisi politik dan kepemimpinan. Mereka menyatakan (kepada Ahlus Sunnah, pent.) : ‘Kalian ahli syariah, sedangakan kami ahli politik.’
5.      golongan yang menentang wahyu dengan penafsiran ala kebatinan. Mereka menyatakan (kepada Ahlus Sunnah, pent.) : ‘Kalian orang-orang yang terpaku dengan perkara dhahir, sedangkan kami adalah orang-orang yang mendalami perkara batin.’
Semua golongan ini tidak mempunyai patokan yang kongkrit dalam pemahamannya masing-masing, bahkan mereka hanya mengikuti hawa nafsu dalam memahami sesuatu.”
Demikian Ibnu Qayim menerangkan dalam kitab beliau As Shawa’iqul Mursalah jilid 3 halaman 1051, tahqiq DR. Ali bin Muhammad Ad Dakhilullah, diterbitkan oleh Darul Ashimah, Riyadh, Arab Saudi, cet. 2, tahun 1412 H.
Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah (th. 213-376 H) dalam kitab beliau Ta’wil Mukhtalafil Hadits hal. 56-57 membawakan ucapan Imam As Sya’bi (Imam dari kalangan Tabi’it Tabi’in) dengan sanadnya, bahwa Malik bin Maghul menyatakan : “Berkata kepadaku As Sya’bi --dan beliau sambil melihat kepada Ashabur Ra’yi (orang-orang yang mengutamakan akal, pent.)-- apabila mereka (ashabur ra’yi) itu membawakan perkataan para shahabat Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, maka terimalah dan kalau mereka mengkabarkan kepadamu dari pikiran mereka, maka lemparkanlah perkataan itu ke lubang WC.” As Sya’bi menegaskan pula : “Hati-hatilah kalian dari qiyas karena bila kalian mengambilnya sebagai patokan hukum , kalian akan mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” Demikianlah Ibnu Qutaibah menukilkan.
Demikian pula sesungguhnya sejarah penyimpangan umat manusia pada umumnya dan kaum Muslimin pada khususnya, yaitu mereka mulai menggungkan akal pikiran dan perasaan lebih dari keagungan agama Allah. Dan dari sini pula dimulai sejarah filsafat yang dibangun di atas qiyas dengan akal dan perasaan sebagai perangkatnya, yang kemudian melawan agama Allah yang diturunkan oleh Allah dalam bentuk wahyu kepada para Nabi-Nya yang membimbing akal dan perasaan untuk tunduk kepada agama ini.

Definisi Filsafat dan Sejarahnya
Ahlus Sunnah wal Jamaah selalu bersikap adil walaupun terhadap musuhnya. Salah satu sikap adil yang ada pada mereka ialah tidak menghukumi satu permasalahan kecuali dengan data dan hujjah. Data yang dimaksud di sini ialah bukti-bukti lahir dan berita yang shadiq (jujur), atau tsiqah (terpecaya). Atas dasar data inilah kemudian diadakan penilaian dengan hujah (dalil Al Qur’an dan Al Hadits). Dalam rangka mengikuti jejak Ahlus Sunnah Wal Jamaah ini kita perlu tahu apa itu filsafat menurut para ahli filsafat dan juga menurut Ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dan untuk melengkapi data tersebut harus pula kita ketahui sejarah filsafat ini.
Dalam hal definisi filsafat, Ibnu Qayim rahimahullah menerangkan : “Makna filsafat itu ialah kecintaan kepada hikmah dan filosof arti asalnya ialah pecinta hikmah, berasal dari kata fila artinya pecinta. Dan kata sofa artinya hikmah.” (Ighatsatul Lahafa Ibnu Qayim, jilid 2 hal. 668)
Selanjutnya beliau menerangkan : “Sesungguhnya kaum filosof itu secara tematik artinya ialah siapa saja yang mencintai hikmah dan lebih mengutamakannya. Dan akhirnya jadilah ia dalam pengertian orang banyak sebagai nama yang khusus bagi siapa saja yang keluar dari agama para Nabi dan tidak berpendapat kecuali dengan segala sesuatu yang mencocoki akal pikiran mereka. Dan lebih khusus lagi dari pengertian ini ialah sebagaimana menurut pengertian orang-orang belakangan bahwa kaum filosof itu ialah para pengikut pemahaman Aristoteles, khususnya para pengikut teori evolusi. Yaitu aliran yang telah disajikan pemahamannya dengan ringkas dan jelas oleh Ibnu Sina dan dibela dengan kuat olehnya. Dan pemahaman inilah yang dikenal oleh para ahli ilmu kalam belakangan dan tidak dikenal pemahaman ini selain oleh mereka. Mereka ini adalah aliran yang ganjil di kalangan berbagai alian filsafat, teori-teori mereka asing di hadapan berbagai teori kaum filosof yang lainnya, sehingga dikatakan bahwasannya tidak ada dari kalangan filosof yang berpendapat bahwa berbagai planet ini tidak berpemulaan (yakni tidak ada yang menciptakan, pent.) kecuali Aristoteles dan para pengikutnya, dan dia adalah sebagaimana diketahui adalah orang yang pertama kali berpendapat bahwa alam ini tidak berpemulaan. Sedangkan tokoh-tokoh filsafat sebelumnya berpendapat bahwa alam ini berpemulaan (yakni asalanya tidak ada kemudian ada, pent.). Mereka juga meyakini adanya pencipta yang berbeda dari alam ini dan pencipta itu berada di atas alam ini dan di atas langit dengan Dzat-Nya, sebagaimana hal ini diceritakan oleh orang-orang yang paling tahu berbagai teori kaum filosof di jamannya ialah Abdul Wahid bin Rusydin dalam kitabnya Manahijul Adillah.” Kemudian Ibnu Qayim rahimahullah menerangkan lebih lanjut tentang siapa Aristoteles ini :
“Dia adalah seorang musyrik penyembah berhala dan berbagai teorinya tentang ketuhanan salah semua dari awal sampai akhirnya. Sesungguhnya segenap teorinya ini telah dibantah oleh berbagai kelompok yang ada di kalangan kaum Muslimin, bahkan Jahmiyah, Mu’tazilah, Qadariyah, Rafidlah dan filosof Islam mengingkari berbagai teori Aristoteles tersebut dan memang teorinya tentang ketuhanan menggelikan orang-orang yang berakal. Ia mengingkari keyakinan bahwa Allah mengetahui segala yang ada dan dia meyakini demikian beralasan dengan pemahamannya bahwa Allah mengetahui sesuatu berarti Dia sempurna dengan pengetahuan-Nya dan tidak sempurna pada Dzat-Nya dan berarti pula Dia akan ditimpa capek dan penat dalam mencapai berbagai pengetahuan itu. Demikianlah ujung pemikiran penggagas dan guru besar teori ini. Hal ini telah diceritakan oleh Abdul Barkat dan beliau telah dengan kuat membantah dan menggugurkan berbagai argumentasi Aristo ini. Maka sesungguhnya hakikat yang diyakini oleh penggagas pemikiran ini dan para pengikutnya ialah : Kufur (pengingkaran) kepada Allah Ta’ala, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, Rasul-Nya dan hari akhirat. Dan para pengikutnya dari kalangan atheis menempuh jalan pikirannya yaitu orang-orang yang berkedok sebagai pengikut Rasul.
Aristoteles adalah peletak dasar pertama berbagai pemikiran atheisme yang datang sesudahnya. Para pengikutnya mengagungkannya lebih daripada pengagungan yang diberikan kepada para Nabi dan mereka berpandangan bahwa apa yang datang dari para Nabi harus diuji kebenarannya dengan omongan Aristoteles, maka bila omongan para Nabi itu mencocoki omongan Aristo, mereka pun menerimanya dan apa yang menyelisishi omongannya ditolaklah omongan para Nabi tersebut. Mereka menamai Aristoteles esbagai penggagas atau guru pertama karena dialah orang pertama yang meletakkan teori-teori mantiq.
Aristoteles dan pengikutnya beranggapan bahwa mantiq adalah patokan untuk menimbang benar salahnya makna-makna kalimat.
Para peneliti Islam (dari kalangan ulamanya) telah menerangkan rusaknya mantiq ini dan bengkoknya. Juga ia dapat merusakkan akal dan merendahkan pikiran. Para ulama yang membantah ilmu ini telah menulis berbagai bantahan dan bukti kerusakannya dalam banyak buku. Dan orang terakhir yang menulis buku sedemikian ini (menurut pengetahuan Ibnu Qayim, pent.) adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau telah menulis bantahan terhadap ilmu mantiq dalam dua kitab, yang satu besar (yaitu Dar’u Ta’arudlil Aqli wan Naqli, pent.) dan yang satunya lagi kecil (yaitu Ar Raddu alal Mantiqiyyin, pent.). Beliau menerangkan padanya berbagai kontradiksi yang ada pada teori-teori mantiq dan rusaknya banyak teori-teori ilmu ini. Juga aku (yakni Ibnu Qayim, pent.) melihat kitab bantahan terhadap ilmu ini yang ditulis oleh Abu Said As Sirafi.
Demikian, sesungguhnya bahwa setiap segenap kaum atheis mengembangkan pemahamannya dengan pengaruh teori-teori guru pertama ini, sehingga berlanjutnya taqlid mereka dengan guru kedua bagi mereka, yaitu Abu Nashr Al Farabi. Dia meletakkan bagi mereka berbagai teori tentang suara, sebagaimana guru pertama telah meletakkan bagi mereka teori-teori tentang huruf. Kemudian Al Farabi berbicara tentang mantiq dalam lingkup yang lebih luas lagi, dia menguraikannya dan menjelaskan filsafat Aristoteles dan menatanya kembali, dan dia menumpahkan segala kesungguhannya dalam misinya ini. Dan dia menjalankan pemahaman pendahulunya (yakni Aristo, pent.) yaitu kufur kepada Allah Ta’ala, dan Malaikat-Nya, dan Kitab-Nya, dan para Rasul-Nya, dan hari akhirat. Sehingga dalam pandangan mereka, setiap filosof bila tidak bersikap demikian (yakni bersikap kufur kepada Allah dan lain-lain, pent.), berarti dia bukan filosof yang hakiki … “ Demikian Ibnu Qayim menjelaskan.
Beliau melengkapi lagi penjelasannya sebagai berikut : “Kaum filosof itu tidak hanya ada pada satu umat tertentu, bahkan mereka itu ada pada segenap umat. Walaupun yang paling banyak dikenal oleh banyak orang dalam perkara filsafat ini ialah berbagai teori para filosof Yunani. Padahal mereka ini adalah sekelompok dari berbagai kelompok filosof, dan mereka adalah satu bangsa dari berbagai bangsa, mereka mempunyai kerajaan dan raja-raja, dan ulama mereka ialah para filosof mereka . Termasuk raja-raja mereka ialah Iskandar Al Maqduni, dia putra Philipus. Bukanlah ia Iskandar Dzul Qarnain yang dikisahkan oleh Allah dalam Al Qur’an. Bahkan antara dua Iskandar ini ada jarak masa sekian banyak abad, dan antara keduanya ada perbedaan agama yang sangat besar. Dzul Qarnain adalah orang yang shalih muwahid (bertauhid) kepada Allah Ta’ala, beriman kepada Allah Ta’ala dan para Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya dan hari akhir. Beliau memerangi para penyembah berhala dan melakukan perjalanan jihad ke timur dan barat bumi. Beliau pula yang membanguin tembok penghalang antara tempat manusia dan tempat Ya’juj wa Ma’juj. Adapun Iskandar Al Maqduni adalah seorang musyrik penyembah berhala begitu pula segenap rakyatnya. Hidupnya sekitar sekitar seribu enam ratus tahun sebelum Isa Al Masih alaihis salam dan orang-orang Nashara memasukkan ia dalam penanggalan mereka. Dan Aristoteles adalah menteri kabinet kerajaannya yang juga seorang musyrik penyembah berhala. Dia pula yang menyerang Daran bin Daran raja Persia sampai ke dalam istananya dan menghancurkan singgasananya dan mencerai-beraikannya, kemudian dia masuk menyerang Cina dan India serta negeri Turki sambil membunuh dan merampas. Bangsa Yunani pada masa pemerintahannya memperoleh kemegahan dan kerajaannya dengan sebab menterinya, yaitu Aristo yang juga sebagai penasehatnya dan kepala pemerintahan kerajaannya. Setelah Iskandar Al Maqduni ini, negara Yunani dipimpin oleh raja-raja bergelar Batlomeos sebagaimana Persi dipimpin oleh Kisra dan Romawi dipimpin Qaishar. Kemudian setelah itu mereka dikalahkan oleh Romawi dan kerajaan mereka diduduki oleh Romawi sehingga bangsa Yunani menjadi rakyat kerajaan Romawi dan hancurlah kerajaan Yunani sehingga menjadi satu dengan kerajaan Romawi. Mereka juga tetap di atas kemusyrikan penyembahan berhala sebagai agama negara. Pernah juga dari orang-oranga Yunani musyrikin tampil orang yang bernama Sokrates, salah seorang murid Phitagoras. Semula dia adalah sama dengan mereka, yaitu penyembah berhala, tapi setelah itu Sokrates menyatakan penentangannya terhadap penyembahan berhala yang ada di kalangan mereka. Dia menantang para tokoh mereka dengan berbagai dalil argumentasi yang menunjukkan kebatilan penyembahan terhadap berhala. Maka bangkitlah masyarakat menentangnya dan mereka memaksa raja untuk membunuhnya. Sehingga raja pun memenjarakannya agar menenangkan mereka dari tantangan Sokrates. Tetapi kaum musyrikin tidak akan puas kecuali bila raja membunuhnya. Maka raja pun karena takut dari mereka, meminumkan racun kepada Sokrates hingga ia terbunuh setelah terjadi berbagai perdebatan yang panjang antara dia dan kaum musyrikin itu. Pendiriannya tentang sifat-sifat Allah mendekati pendirian kaum Mukminin yang menetapkan adanya sifat-sifat kemuliaan itu. Dia menyatakan : ‘Sesungguhnya Ia adalah Tuhan segala sesuatu dan Penciptanya, dan Penentunya juga. Dan Ia adalah Dzat Yang Maha Perkasa. Dia tidak mungkin dikalahkan. Dia mempunyai sifat Hakim dalam perbuatan-Nya dan pengaturan-Nya.’ Sokrates menyatakan pula bahwa Tuhan itu adalah Dzat yang ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, wujud-Nya, dan hikmah-Nya tidak terbatas yang akal tidak mungkin mampu menerangkan batas berbagai sifat kemuliaan-Nya itu.”
Demikian Ibnul Qayim menerangkan tentang berbagai pemahaman Sokrates. Kemudian beliau memberikan penilaian terhadapnya sebagai berikut : “Omongannya tentang hari kebangkitan dan tentang sifat-sifat Allah serta tentang permulaan alam ini lebih dekat kepada omongnnya para Nabi daripada omongan para filoosof lainnya. Secara keseluruhannya, Sokrates adalah filosof yang paling dekat kepada sikap membenarkan para Rasul, dan karena inilah dia dibunuh oleh kaumnya.”
Di sini Ibnul Qayim menegaskan bahwa sebelum Aristoteles, pernah muncul di kalangan Yunani tokoh filosof yang lebih mendekati apa yang disampaikan para Nabi dan Rasul dari Allah subhanahu wa ta'ala. Ia adalah Sokrates dan kemudian muridnya bernama Plato. Tetapi kemudian Sokrates dibunuh, sedangkan Plato tidak seagresif gurunya dalam membantah penyembahan berhala sehingga muncullah darinya seorang murid yang durhaka bernama Aristoteles. Ia membantah Plato dahn Sokrates dalam banyak hal serta membela penyembahan berhala sehingga dengan itu dia sangat diagungkan kaumnya. Sehingga yang dikenang dari Yunani kuno adalah warisan agama Aristoteles, sedangkan pemahaman Sokrates dan Plato larut dalam kuatnya arus pengaruh Aristoteles yang mendominasi filsafat Yunani dan para filosofnya. Inilah sesungguhnya dasar filsafat Barat yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh kaum Muslimin sehingga membangkitkan semangat ahlul bid’ah di kalangan Muslimin untuk menyerang aqidah Islamiyah khususnya dan menyerang pemahaman Salafus Shalih terhadap Al Qur’an dan Al Hadits, bahkan berusaha pula untuk meruntuhkan keduanya secara keseluruhan dari keimanan kaum Muslimin kepada keduanya.
Disebutkan oleh Dr. Muhammad Al Bahiy dalam kitabnya Al Janibul Ilahi minat Tafkir Al Islami halaman 189 (terbitan Maktabah Wahdah, tanpa tahun) bahwa kaum Muslimin mulai menerjemahkan buku-buku filsafat Grik ke dalam bahasa Arab pada masa pemerintahan khalifah kedua Abbasiyah yakni Abu Ja’far Al Manshur pada tahun 132 H/749 M. setelah itu berbagai buku filsafat dari berbagai bangsa juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sehingga kaum Muslimin diserang dari berbagai penjuru oleh berbagai pemahaman filsafat tersebut. Sehinggga Ghazwul Fikri (perang pemikiran) semakin dahsyat dilancarkan terhadap kaum Muslimin. Akibatnya muncullah dari kalangan anak-anak Muslimin, orang-orang yang berani terang-terangan melecehkan Al Qur’an dan Al Hadits dengan penafsiran bathil yang membawa kepada kekafiran. Sehingga muncullah di kalangan umat Islam, orang-orang zindiq semacam Al Farabi yang menyatakan keyakinannya bahwa alamn raya ini adalah sesuatu yang tidak berpemulaan dan tidak hancur. Ia (alam) menciptakan dirinya sendiri dan tidak ada yang menciptakannya. Demikian pula Ibnu Sina yang lebih banyak lagi karya tulisnya dalam mempertahankan berbagai prinsip-prinsip Al Farabi.
Kemudian setelah itu Ibnu Arabi yang lebih banyak lagi karya tulisnya dalam menyatakan kekafiran dirinya kepada Allah subhanahu wa ta'ala dan kepada adanya hari kiamat. Dan terus bermunculan para tokoh filsafat dari kalangan umat Islam, yang kemudian menjadi pemicu terjadinya pertempuran yang dahsyat antara para pentolan filsafat di satu pihak, melawan para ulama Ahlul Hadits di pihak lain.
Demikianlah definisi dan sejarah filsafat yang cukup menggambarkan kepada kita betapa kerasnya pertentangan antara filsafat dengan agama Allah yang dibawa oleh para Nabi-Nya. Ini menunjukkan betapa kerusakan yang ditimbulkan oleh filsafat dalam keyakinan kaum Muslimin terhadap agamanya.

Peringatan Para Ulama

Menyadari betapa besar kerusakan yang ditimbulkan filsafat terhadap pemahaman kaum Muslimin terhadap agamanya, maka para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dulu dan sekarang tiada henti-hentinya memperingatkan umat Islam dari bahaya filsafat. Ilmu-ilmu filsafat dikembangkan dalam bentuk-bentuk baru seperti ilmu kalam, ilmu mantiq, ilmu falaq, dan lain-lain. Ini adalah dalam rangka mengelabuhi umat Islam dari pertentangan filsafat dengan Islam sehingga menyeret umat Islam keluar dari agamanya tanpa terasa. Dalam hal ini Al Hafidh Jamaluddin Abil Faraj Abdurrahman Ibnul Jauzi Al Baghdadi rahimahullah (meninggal tahun 597 Hijriah), beliau menerangkan dalam kitab karyanya berjudul Talbis Iblis halaman 82 (cet. Maktabah An Nahdlah, tahun 1928 M) : “Sesungguhnya iblis apabila telah berhasil menyesatkan orang-orang bodoh dengan menjerumuskan mereka ke dalam sikap taqlid (yakni mengikuti tanpa mengerti, pent.) dan menggiring mereka seperti menggiring binatang ternak. Iblis pun kemudian melirik golongan lain dari Bani Adam yang mereka ini mempunyai kecerdasan dan kepandaian. Maka mereka pun disesatkan sesuai dengan kadar kemampuannya menguasai mereka. Maka sebagian dari mereka digiring kepada kesan betapa jeleknya kejumudan dalam bertaqlid dan dianjurkan setelah itu untuk memahami agama dengan akal pikirannya sendiri dan kemudian setiap dari mereka disesatkan dengan berbagai cara. Sebagian mereka disesatkan dengan satu kesan, bahwa terpaku dengan pengerian dhahir syariat adalah kelemahan, sehingga mereka digiring kepada salah satu dari madzhab-madzhab filsafat. Dan terus mereka berkembang dalam madzhab filsafat itu dalam memahami makna batin syariah, sehingga filsafat itu mengeluarkan mereka dari Islam.
Selanjutnya Ibnul Jauzi menegaskan : “Dari mereka ini ada pula yang disesatkan oleh iblis dengan digiring kepada kesan baiknya prinsip tidak mempercayai adanya sesuatu kecuali kalau sesuatu itu bisa dirasakan keberadaannya oleh panca indera. Dikatakan kepada mereka : Dengan panca indera, kalian bisa mengetahui bukti kebenaran omongan kalian.”
Kemudian beliau menambahkan : “Dan sebagian mereka (orang-orang yang cerdas dan pandai) itu ada yang ditanamkan rasa benci oleh iblis terhadap taqlid dan sebagai gantinya ditanamkan semangat mendalami ilmu kalam dan meneladani sepak terjang kaum filosof, agar dengan cara demikian mereka bisa keluar dari lingkup orang awam. Demikianlah anggapan mereka. Padahal sesungguhnya beraneka ragam kesesatan para ahli ilmu kalam yang dengan ilmu kalam itu telah menjerumuskan mayoritas mereka kepada berbagai keraguan dan bahkan sebagian mereka telah terjerumus ke dalam atheisme.
Dan para ulama ahli fikih terdahulu dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka diam, tidak mau bicara tentang ilmu kalam, bukannya karena mereka tidak mampu untuk berbicara tentang hal tersebut, tetapi karena semata-mata karena mereka melihat bahwa ilmu kalam ini tidak akan menghilangkan dahaga orang yang haus dan kemudian orang yang sehat dengan ilmu ini tidak bisa menolak penyakit. Oleh karena itu mereka para ulama menahan diri untuk berbicara tentang ilmu ini dan mereka melarang umat untuk mendalami ilmu ini. Sehingga Al Imam Syafi’i mengatakan : ‘Sungguh seandainya seorang hamba Allah terjatuh pada segenap apa yang dilarang oleh Allah selain syirik, lebih baik baginya daripada mempelajari ilmu kalam.’ Beliau (Imam Syafi’i) menyatakan pula : ‘Apabila engkau mendengar ada seseorang memperdebatkan tentang apakah nama Allah itu menunjukkan sifatnya atau tidak menunjukkannya, maka persaksikanlah bahwa orang yang berbicara demikian ini tidak ada agamanya.’ Juga beliau menyatakan : ‘Hukuman terhadap ulama ilmu kalam ialah mereka ini dipukul dengan pelepah kurma dan kemudian dikelilingkan di berbagai kampung dan kabilah untuk dinyatakan di hadapan mereka : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan Al Kitab dan As Sunnah dan terjun dalam ilmu kalam.’
Berkata Al Imam Ahmad bin Hambal : ‘Tidak akan selamat selamanya orang yang berpegang dengan ilmu kalam. Ulama ilmu kalam itu adalah para zindiq (yakni orang-orang yang menyembunyikan di hatinya kekafiran, tetapi menampakkan keimanan).’ ” Demikianlah Ibnul Jauzi membawakan keterangan dan menukil perkataan ulama Ahlus Sunnah tentang kedudukan ilmu kalam dan jahatnya ulama ilmu kalam. Padahal ilmu kalam hanyalah sebagian dari ilmu-ilmu filsafat.
Masih terlalu banyak peringatan dan nasehat para ulama tentang bahaya ilmu-ilmu filsafat. Seandainya tidaklah karena keterbatasan halaman di majalah ini, kita akan bawakan sebanyak-banyaknya berbagai nasehat para ulama tersebut. Tetapi sedikit keterangan yang kami bawakan ini kiranya cukup menjadi peringatan bagi pembaca tentang bahaya ilmu-ilmu filsafat terhadap iman kita kepada Allah dan Rasul-Nya.

 

Penutup

Demikianlah serunya pergolakan antara filsafat dengan Islam dan pergolakan ini terus berlangsung sampai hari ini, bahkan sampai hari kiamat. Ketika orang bersemangat dengan ilmu Al Qur’an dan Al Hadits maka filsafat akan terabaikan. Sebaliknya bila orang mulai mengabaikan ilmu Al Qur’an dan Al Hadits, maka mereka pun berkecenderungan kuat terhadap filsafat. Oleh karena itu untuk mengantisipasi berbagai kerusakan filsafat, umat Islam harus dibangkitkan semangat mereka mencintai dan mempelajari ilmu Al Qur’an dan Al Hadits agar mengerti Al Haq dan Al Bathil dari sumber yang haq dan pasti. Dengan begitu mereka dapat menolak kebingungan dan kerancuan filsafat.

Daftar Kepustakaan

1.      Al Qur’anul Karim dan terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al Qur’an, Departemen Agama RI, terbitan Mujamma Khadim Al Haramain Asy Syarifain Al Malik Fahdi li Thiba’at Al Mushaf Asy Syarif, Saudi Arabia.
2.      Tafsir Ath Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabari (meninggal tahun 310 H), Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Libanon, cet. Pertama tahun 1412 H/1992 M.
3.      Tafsir Ibnu Katsir, Al Hafidh Imaduddin Abul Fida’ Ismail bin Katsir Al Qurasyi Ad Dimasqiy (meninggal tahun 774 H), Matba’ah Musthafa Muhammad Al Maktabah At Tijariyah, Mesir, cetakan Tahun 1356 H/1937 M.
4.      Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, Al Hafidh Ahmad bin Ali bin Hajar Al Atsqalani (meninggal tahun 852 H), Al Maktabah As Salafiyah, tanpa tahun.
5.      Ta’wilu Mukhtalafil Hadits, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (meninggal tahun 376 H), Darul Kutub Al Ilmiyah, tanpa tahun.
6.      Al Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir, Darul Kutub Al Ilmiyah, tanpa tahun.
7.      I’lamul Muwaqi’in, Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakar Ibnu Qayim Al Jauziyah (meninggal tahun 751 H), Darul Fikr, Beirut, Libanon, cetakan kedua tahun 1397 H/1977 M.
8.      Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul, Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy Syaukani meninggal tahun 1255 H), Idaratut Thiba’ah Al Muniriyah, Mesir, tanpa tahun.
9.      As Shawaiqul Mursalah, Ibnul Qayim Al Jauziyah, tahqiq Dr. Ali bin Muhammad Ad Dakhilullah, Darul Ashimah, Riyadh, Saudi Arabia, cet. 2, tahun 1412 H.
10.  Ighatsatul Lahafan fi Mushaidis Syaithan, Ibnu Qayim AL Jauziyah, dengan tahqiq Basyir Muhammad Uyun, Maktabah Al Mu’ayyad, Riyadh, Saudi Arabia, cet. pertama, tahun 1414 H/1993 M.
11.  Al Janibul Ilahi minat Tafkir Al Islamy, Dr. Muhammad Al Bahiy, Maktabah Wahdah, tanpa tahun.
12.  Talbis Iblis, Al Hafidh Jamaluddin Abul Faraj Abdurrahman Ibnul Jauzi Al Baghdadi (meninggal tahun 597 H), Maktabah Al Nahdlah, tahun 1928 H.
13.  Kamus Filsafat, Lorens Bagus, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, tahun 1996, edisi pertama.